Adalah seorang tukang sepatu yang bernama Martin Avdeich, dia
tinggal di satu apartemen bawah tanah dengan satu jendela kecil. Dari jendela
itulah dia bisa melihat orang yang lalu lalang dari kakinya. Martin yang karena
pekerjaannya sebagai tukang sepatu, tidaklah sulit buat dia mengenali orang
yang lalu lalang itu dari sepatu yang dipakainya. Martin adalah pekerja keras,
dia tidak pernah menipu pelanggannya, dia selalu menggunakan bahan terpilih
untuk membuat sepatu, dia juga selalu tepat janji, pendek kata Martin selain
pekerja keras juga pekerja yang baik.
Martin pernah mengalami kekecewaan dengan Tuhan
saat istri dan anak-anaknya meninggal, di tengah kekecewaannya dia pernah minta
supaya Tuhan juga memanggilnya, karena dia sudah tidak melihat arti hidupnya
ini. Di saat keadaan yang paling susah itulah dia bertemu orang yang
mengingatkan kalau Tuhan sudah memberinya hidup, dan mengingatkan Martin bahwa
hidupnya harus diberikan kepada Tuhan. Di tengah ketidak mengertiannya dan
usahanya bagaimana caranya memberikan hidup untuk Tuhan, tiba-tiba dia
bermimpi, mendengar suara Tuhan, “Martin … Martin .. berjaga-jagalah Aku akan
datang ke tempatmu esok”.
Besoknya Martin menanti-nanti. Kadang-kadang ia
berpikir suara itu hanya mimpi, kadang-kadang ia meyakini ia benar-benar
mendengar suara itu. Martin duduk di samping jendelanya sambil bekerja. Tiap kali
dia menatap ke jalan menunggu Tuhan datang. Akhirnya dari jendelanya Martin
melihat orang berpakaian usang, dengan sepatu penuh jahitan dan sebuah sekop di
tangan. Dari sepatunya Martin tahu bahwa orang tua itu Stephanich, orang miskin
yang menumpang di rumah orang lain dan melakukan pekerjaan-pekerjaan kecil
seperti membersihkan salju. Ia mulai membersihkan salju di depan jendela
Martin. Martin mengamati Stephanich sampai Stepanich meletakkan sekop, dan
kelihatan menggigil mencari tempat istirahat dan berlindung dari hawa dingin.
Orang tua ini kelihatan sangat rapuh. Martin mengundangnya masuk. Stephanich
begitu gemetar sampai hampir jatuh waktu masuk. “Masuklah ke dalam dan aku
punya teh hangat,” demikian seru Martin kepada Stepanich. Stepanich yang ragu-ragu
masuk ke rumahnya bertanya apakah Martin sedang menunggu seseorang? Martin
menjawab, “Saya sebenarnya malu untuk mengatakan pada anda bahwa memang saya
sedang menunggu Tuhan, seperti yang saya pahami melalui Alkitab bahwa betapa
betapa besar kasih Tuhan sampai Dia mau turun ke bumi”. Begitulah Martin bukan
hanya memberikan teh tetapi juga bagian makan siangnya yang sangat sederhana.
Stephanich pamit dengan air mata di pipi karena rasa terimakasihnya yang dalam.
Martin menunggu lagi. Berbagai orang lewat lalu
lalang. Tuhan belum juga muncul. Sampai dilihatnya seorang wanita miskin dengan
bayinya. Wanita ini hanya berpakaian musim panas, wanita ini tidak punya uang
untuk menebus syal nya yang digadaikan. Martin bangkit dan memanggil wanita itu
untuk masuk kerumahnya. Martin menyambut wanita dan bayinya ini. Memasak bubur
untuk bayi itu dari persediaannya yang tipis dan memberikan uang kepada wanita
itu supaya ia bisa menebus syal yang dia gadaikan untuk memberi makan bayinya.
Ia juga memberikan satu-satunya mantel cadangannya yang juga sudah tua dan
benangnya yang sudah menipis. Wanita miskin tersebut mengambil pemberian Martin
dengan air mata yang berlinang.
Martin, duduk lagi, hari mulai sore. Dia makan
sisa makanan yang masih tersedia, bekerja lagi. Tapi dia tetap berkali-kali
memandang ke jalan. Menunggu dan menunggu datangnya Tuhan.
Tidak lama seorang wanita tua penjual apel
lewat. Punggungnya menggendong kayu bakar, dan tangannya menjinjing keranjang
dagangan yang hanya berisi beberapa butir apel. Kayu bakarnya sangat berat
sehingga ia berhenti, membetulkan gendongannya. Ia meletakkan keranjangnya di
tanah. Tiba-tiba seorang anak laki-laki kecil lari dan mengambil beberapa apel.
Tapi nenek ini dengan cekatan menjambret baju anak itu.
Nenek itu menarik rambut anak kecil itu dan
berteriak akan membawa dia ke kantor polisi. Martin meminta-minta agar si nenek
tidak membawa anak itu ke polisi. Martin akan membayar apelnya.
Akhirnya nenek melepaskan pegangannya dan anak
itu langsung melarikan diri. Martin menangkapnya dan berkata, “Mintalah maaf
kepada nenek itu, dan saya tidak ingin melihat engkau mengambil apelnya lagi”.
Anak itu minta maaf. Malahan dia menawarkan
diri mengangkat kayu bakar si nenek. Mereka berjalan berdampingan.
Martin menunggu lagi, hari mulai malam.
“Tampaknya hari sudah gelap”, pikir Martin. Dia membersihkan peralatannya.
Menyalakan lampu. Mengambil Alkitabnya. Dan dia merenung menantikan Tuhan.
Tetapi sudah malam., apakah Tuhan masih akan datang?
Martin kembali merenung akan mimpinya yang
mendengar suara Tuhan, kalau Dia akan datang kerumahnya… Tiba -tiba dia
mengalami situasi yang sama dalam mimpinya, dia mendengar lagi suara yang
berkata di telinganya “Martin … Martin, apakah kamu tidak mengenal aku?”
“Siapa?” tanya Martin ,
“Aku”, jawab suara itu. Di tengah
kegelapan malam Martin melalui kaca jendelanya samar-samar melihat Stephanich
yang tersenyum.
“Ini adalah Aku”, terdengar ada suara itu lagi,
dan Martin sama-samar melihat wanita tua dan bayinya dan lenyap.
“Ini adalah Aku”, terdengar suara lagi, dan
Martin samar-samar melihat wanita tua dan apelnya bersama dengan anak
laki-laki.
Melihat itu jiwa Martin gembira karena dia
teringat apa yang tertulis di Alkitabnya, “Sebab pada waktu Aku lapar, kalian
memberi Aku makan, dan pada waktu Aku haus, kalian memberi Aku minum. Aku
seorang asing, kalian menerima Aku di rumahmu. Aku tidak berpakaian, kalian
memberikan Aku pakaian. Aku sakit, kalian merawat Aku. Aku dipenjarakan, kalian
menolong Aku.”
Impian Martin menjadi kenyataan, Tuhan memang
sudah datang dan makan bersamanya hari itu. Martin akhirnya boleh mengerti,
makna ayat ini: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak
kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak
melakukannya juga untuk Aku.” (Matius 25:45).
Cerita ini diambil dari “Where Love Is, God Is”
karangan Leo Tolstoy, 1885. Cerita yang dari 14 halaman, dicoba diringkas
menjadi 1 halaman, mudah-mudahan pesannya masih bisa kita nikmati sebagai
renungan Natal.
Refleksi:
Jikalau 2000 tahun yang lalu Tuhan hadir ke
dunia dalam bayi Jesus, saat ini Tuhan bisa hadir diantara kita melalui orang
-orang di sekitar kita, bukalah pintu hati kita, sama seperti Martin Avdeich
yang selalu menyambut hangat sesamanya. Keinginan Tuhan datang ke dunia ini
adalah untuk menghampiri dan melayan orang-orang yang miskin dan menderita,
terutama mereka yang miskin secara rohani. “Yesus mendengarnya dan
berkata kepada mereka: “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang
sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa.”
-Markus 2:17.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar