Sabtu, 26 Januari 2019

Balap Empat Babak Kelinci melawan Kura-kura

Suatu pagi, di sebuah hutan, kelinci dan kura-kura bertemu dekat sebuah sungai. Mereka berjemur dan mengobrol. Kelinci mulai membangga-banggakan dirinya sendiri. “Kura-kura, kau tahu? Aku adalah pelari tercepat di dunia,” kata kelinci sombong. “Eh, sembarangan. Ayo kita buktikan. Kita balap 4 babak balap lari. Bagaimana? Kau berani?” tantang kura-kura. Kelinci semakin tertawa terbahak-bahak, “Ha ha ha, baiklah jika itu maumu. Akan kubuktikan bahwa aku pelari tercepat di dunia. Bukan kau.” “Oke! Aku juga akan buktikan,” kata kura-kura mantap. Sebenarnya kura-kura tahu ia tidak akan menang adu lari melawan kelinci. Tapi, ia ingin memberi pelajaran kepada kelinci yang sombong. 1. Babak pertama Kelinci berlari sangat cepat, dan kura-kura tertinggal jauh di belakang. Melihat kura-kura yang tertatih berjalan lambat, membuat kelinci terlena. Kelinci memutuskan untuk beristirahat sebelum garis akhir, dan jatuh tertidur. Dan kura-kura bisa melewati kelinci mendahului ke garis akhir. Kura-kura memenangi babak pertama. 2. Babak kedua Mengingat kekalahan pada babak pertama, kelinci berlari tanpa henti meninggalkan kura-kura jauh di belakang, dan mencapai garis akhir. Kelinci memenangi babak kedua. 3. Babak ketiga Kali ketiga, kura-kura mengatakan kalau di babak ini dia yang menentukan rute lari. Kelinci dengan sombong menyanggupi. Setelah berlari cepat, kelinci terhenti di pinggir sungai. Rupanya dalam jalur ini kelinci harus menyeberangi sungai. Dan kelinci tidak dapat berenang termangu di pinggir sungai. Hingga terlewati oleh kura-kura yang bisa berenang. Kura-kura memenangi babak ketiga. 4. Babak keempat Untuk babak keempat. Kura-kura mengajak kerja sama. Di jalur darat, kelinci menggendong kura-kura. Di sungai, kura-kura berenang menggendong kelinci. Akhirnya kelinci dan kura-kura dapat menyelesaikan lomba bersama-sama. Menang bersama-sama... Silakan nilai sendiri nilai dari tiap babak...

Selasa, 08 Januari 2019

Orang buta dan Lentera

Suatu ketika, seorang buta hendak pulang dari rumah sahabatnya. Ketika ia akan pulang, hari sudah malam. Sahabatnya tersebut kemudian membekali orang buta ini dengan sebuah lentera. Orang buta itu tertawa dan bertanya, “Buat apa saya membawa lentera? Dengan atau tanpanya, saya memang tak bisa melihat! Sudah, tak perlulah saya membawa lentera itu!.” Sang sahabat itu kemudian dengan lembut menjawab, “Ini agar orang lain bisa melihatmu dan tidak menabrakmu saat berjalan.” Setelah perdebatan singkat, orang buta itu setuju untuk membawa lentera. Baru berjalan selama lima menit, ada orang yang menabraknya. Orang buta yang kaget ini berkata dengan tidak senang, “ Hei! Kamu kan punya mata! Berilah jalan untuk orang buta!” Tanpa menjawab, orang itu berlalu. Baru berjalan lagi selama 10 menit, ada orang lain yang menabraknya. Orang buta ini makin marah dan berkata, “Kamu buta ya? Tidak bisa lihat? Aku sudah bawa lentera mengapa masih kau tabrak?” Orang itu kemudian menjawab dengan sama marahnya, “Kamu itu yang buta! Apa kamu tidak tahu bahwa lenteramu sudah padam?” Si buta itu terdiam sejenak lalu setelah sang penabrak sadar denga situasinya, ia langsung berkata, “Astaga, maaf sekali. Sayalah yang buta karena tidak menyadari bahwa Anda tak bisa melihat. Mari saya bantu untuk menyalakan lagi lentera Anda.” Orang buta ini kemudian juga meminta maaf karena sudah berkata kasar dan tidak sadar bahwa lenteranya telah mati. Mereka kemudian berpamitan dengan sopan lalu melanjutkan perjalanan masing-masing. Setelah berjalan kurang lebih lima menit, orang buta ini ditabrak lagi oleh orang lain. Tak mau mengulangi kesalahan yang sama, orang buta ini bertanya dengan sopan, “Maaf, apakah lentera saya padam sehingga Anda tak bisa melihat saya?” Lucunya, penabrak itu justru berkata, “Wah, justru saya juga hendak menanyakan hal itu!” Dua orang ini kemudian terdiam sesaat lalu si buta bertanya, “Apakah Anda buta?” Penabrak itu berkata, “Ya!” Setelah itu mereka berdua pun tertawa bersama menertawakan kebutaan mereka. Dua orang ini kemudian saling bantu menemukan lentera yang jatuh gegara tabrakan tadi. Saat sedang mencari-cari dalam gelap, ada orang yang lewat dan tidak membawa lentera. Hampir saja ia menabrak dua orang buta itu. Untung ia tidak menabraknya. Ia langsung berlalu karena tak tahu bahwa keduanya buta. Orang ini hanya berpikir, “Saya tentu butuh membawa lentera supaya tidak menabrak orang lain. Jika ada yang membutuhkan cahaya, saya juga bisa meminjamkan padanya.” Apa makna dari cerita ini? Lentera di sini menggambarkan kebijaksanaan. Membawa lentera berarti memiliki dan mengamalkan kebijaksanaan dalam hidup. Sama halnya dengan lentera, kebijaksanaan dapat melindungi kita dari berbagai macam rintangan dan ‘tabrakan’ yang mungkin terjadi dalam perjalanan hidup. ____________________________________ Lalu apa makna perjalanan si orang buta tadi? Awalnya, si buta mewakili orang yang benar-benar gelap batinnya. Ia angkuh, bebal, egois, dan penuh kemarahan. Jika ada kesalahan, ia selalu menunjuk orang lain. Ia tak sadar bahwa kesalahan sebenarnya juga banyak pada diri sendiri. Namun seiring dengan berjalannya waktu, ia mulai belajar bahwa apa yang awalnya ia yakini tidaklah benar. Si buta ini menjadi lebih bijak setelah mengalami sejumlah peristiwa. Ia lebih rendah hati dan merasa bahwa dalam dirinya juga ada banyak kesalahan. Ia menjadi rendah hati karena sadar akan kebutaannya dan sadar akan kebutuhannya akan bantuan orang lain. Ia juga belajar menjadi pemaaf. Penabrak pertama mewakili orang pada umumnya. Mereka tak sadar dan tak peduli dengan apapun yang terjadi. Penabrak kedua mewakili orang yang bertentangan dengan kita. Mereka sebenarnya bisa menunjukkan kesalahan kita dan bisa menjadi guru-guru terbaik untuk kita. Beranikah kita dibenahi oleh orang lain? Orang buta kedua mewakili mereka yang sama gelap batinnya dengan kita. Jangan sampai kita meminta pertolongan dari orang yang sama-sama buta dan tak punya lentera. Lalu orang terakhir menggambarkan mereka yang masih buta namun sadar akan pentingnya lentera kebijaksanaan. Siapakah diri kita dalam kisah ini? Sudahkah kita memiliki atau mencari lentera kebijaksanaan dalam hidup?