Selasa, 29 September 2015

Sudut Pandang

PENULIS PENGELUH DAN PENOLONG PENCERAH

Sep penulis terkenal duduk di ruang kerjanya, dia mengambil penanya & mulai menulis :

Thn lalu, saya hrs dioperasi utk mengeluarkan batu empedu saya. Saya harus terbaring cukup lama di ranjang saya.

Di thn yg sama saya berusia 60 th & harus keluar dr pekerjaan di perusahaan percetakan yg begitu saya senangi yg sdh saya tekuni selama 30 th.

Di thn yg sama saya ditinggalkan papa saya yg tercinta

Dan masih di thn yg sama anak saya gagal di ujian akhir kedokteran karena kecelakaan mobil. Biaya bengkel akibat kerusakan mobil adalah bentuk kesialan lainnya di thn itu.

Akhirnya dia menulis : Sungguh ! Tahun yg sangat buruk !

Istri sang penulis masuk keruangan & menjumpai suaminya yg sedang sedih & termenung. Dari belakang sang istri melihat tulisan sang suami. Per-lahan2 ia mundur & keluar dr ruangan. Kurang lebih 15 menit kemudian dia masuk lagi & meletakkan sebuah kertas berisi tulisan sbb :

Thn lalu akhirnya saya berhasil menyingkirkan kantong empedu saya yg selama bertahun2 membuat perut saya sakit.

Thn lalu saya bersyukur bisa pensiun dgn kondisi sehat walafiat.
Skrg saya bisa menggunakan waktu saya utk menulis sesuatu dgn fokus yg lebih baik & penuh kedamaian.

Pd thn yg sama ayah saya yg berusia 95 th, tanpa kondisi kritis menghadap sang pencipta.

Dan masih di thn yg sama, anak saya  hidup baru. Mobil kami memang rusak berat akibat kecelakaan tsb, tapi anak saya selamat tanpa cacat sedikitpun...

Pada kalimat terakhir ia menulis:
Tahun itu adalah tahun dengan berkat  yg luar biasa & kami lalui dgn takjub.

Sang penulis tersenyum & mengalir rasa hangat di dadanya atas interprestasi rasa syukur atas tahun  menakjubkan yg dilewatinya.

"Be grateful for what you have & stop complaining - it bores everybody else, does you no good, & doesn't solve any problems. " Be positive"

Minggu, 27 September 2015

Mangkuk yang Cacat

Alkisah, ada seorang anak muda pergi ke sebuah toko untuk membeli sebuah mangkuk. Sesampainya di toko, dia mengambil sebuah mangkuk dan kemudian dengan lembut membenturkannya dengan mangkuk yang lainnya. Ketika kedua mangkuk itu saling bersentuhan, terdengar suara yang sumbang. Ia mengulangi menyentuhkan mangkuk di tangannya berulang kali ke mangkuk-mangkuk lainnya. Hasilnya sama, perpaduan suara yang terdengar sumbang di telinga. Dengan kecewa dia mencari pemilik toko dan menyampaikan kekecewaannya sambil meletakkan mangkuk itu ke tempat semula. Pemilik toko dengan sabar bertanya, “Anak muda, untuk apa membenturkan mangkuk itu dengan mangkuk yang lain?” Si Pemuda menjawab, “ Saya diajarkan oleh sesepuh, ketika sebuah mangkuk dibenturkan dengan lembut ke mangkuk yang lain dan mengeluarkan suara yang jernih dan merdu maka itu barulah sebuah mangkuk yang bagus dan pantas dibeli." Setelah mengamati mangkuk yang tadi dipegang si anak muda, sambil tersenyum pemilik toko mengambil mangkuk yang lain dan memberikannya kepada si pemuda, “Ambillah mangkuk ini dan cobalah sekali lagi benturkan dengan mangkuk yang lain, pasti kamu akan menemukan mangkuk yang kamu sukai." Setengah percaya, si pemuda melakukan apa yang diminta. Aneh! Semua mangkuk yang ia benturkan mengeluarkan suara yang jernih. Ia tidak mengerti mengapa hal itu tersebut bisa terjadi. Pemilik toko tertawa melihat roman muka heran si pemuda, “Hahaha....jangan terlalu merasa aneh.. sebenarnya alasannya sangat sederhana. Mangkuk yang kamu ambil tadi adalah mangkuk yang cacat. Maka ketika kamu benturkan dengan mangkuk yang lain, yang mana pun, pasti mengeluarkan suara yang sumbang. Maka pastikan dulu mangkuk yang ada di tanganmu adalah mangkuk yang bagus, tidak cacat untuk mengukur mangkuk yang lain cacat atau tidak." Setiap manusia memiliki sebuah mangkuk di dalam diri yakni jiwa, hati dan pikiran. Jika mangkuk itu berisi kemurahan hati, kebaikan, ketulusan, kejujuran dan hal-hal positif lainnya, maka saat berbenturan dengan mangkuk yang tidak cacat, maka akan memunculkan ‘suara’ yang jernih dan merdu. Diantara mereka akan timbul kepercayaan, tidak saling menyakiti, rendah hati dan saling menghormati. Sebaliknya, jika mangkuk itu cacat, dengan sendirinya suara sumbang akan terjadi berupa rasa iri, dengki, benci, curiga dan mental negatif lainnya. Mari penuhi mangkuk hati kita dengan hal-hal positif, yang pasti akan membawa hasil positif juga kelak di kemudian hari.

Selasa, 22 September 2015

Kisah Penebang Kayu

Alkisah, seorang pedagang kayumenerima lamaran seorang pekerja untuk menebang pohon di hutannya. Karena gaji yang dijanjikan dan kondisi kerja yangbakal diterima sangat baik, sehingga si calon penebang pohon itu pun bertekad untuk bekerja sebaik mungkin.
Saat mulai bekerja, si majikan memberikan sebuah kapak dan menunjukkan area kerja yang harus diselesaikan dengan target waktu yang telah ditentukan kepada si penebang pohon.
Hari pertama bekerja, dia berhasil merobohkan 8 batang pohon. Sore hari, mendengar hasil kerja si penebang, sang majikan terkesan dan memberikan pujian dengan tulus, “Hasil kerjamu sungguh luar biasa! Saya sangat kagum dengan kemampuanmu menebang pohon-pohon itu. Belum pernah ada yang sepertimu sebelum ini. Teruskan bekerja seperti itu”.
Sangat termotivasi oleh pujian majikannya, keesokan hari si penebang bekerja lebih keras lagi, tetapi dia hanya berhasil merobohkan 7 batang pohon. Hari ketiga, dia bekerja lebih keras lagi, tetapi hasilnya tetap tidak memuaskan bahkan mengecewakan. Semakin bertambahnya hari, semakin sedikit pohon yang berhasil dirobohkan. “Sepertinya aku telah kehilangan kemampuan dan kekuatanku, bagaimana aku dapat mempertanggungjawabkan hasilkerjaku kepada majikan?” pikir penebang pohon merasa malu dan putus asa. Dengan kepala tertunduk dia menghadap ke sang majikan, meminta maaf atas hasil kerja yang kurang memadai dan mengeluh tidak mengerti apa yang telah terjadi.
Sang majikan menyimak dan bertanya kepadanya, “ Kapan terakhir kamu mengasah kapak? ”
“Mengasah kapak? Saya tidak punya waktu untuk itu, saya sangat sibuk setiap hari menebang pohon dari pagi hingga sore dengan sekuat tenaga”. Kata si penebang.
“Nah, disinilah masalahnya. Ingat, hari pertama kamu kerja? Dengan kapak baru dan terasah, maka kamu bisa menebang pohon dengan hasil luar biasa. Hari-hari berikutnya, dengan tenaga yang sama, menggunakan kapak yang sama tetapi tidak diasah, kamu tahu sendiri, hasilnya semakin menurun. Maka, sesibuk apapun, kamu harus meluangkan waktu untuk mengasah kapakmu, agar setiap hari bekerja dengan tenaga yang sama dan hasil yang maksimal.
Sekarang mulailah mengasah kapakmu dan segera kembali bekerja!” perintah sang majikan. Sambil mengangguk-anggukan kepala dan mengucap terimakasih, si penebang berlalu dari hadapan majikannya untuk mulai mengasah kapak.
Sama seperti si penebang pohon, kita pun setiap hari, dari pagi hingga malam hari, seolah terjebak dalam rutinitas terpola. Sibuk, sibukdan sibuk, sehingga seringkali melupakan sisi lainyang sama pentingnya, yaituistirahat sejenak mengasah dan mengisi hal-hal baru untuk menambah pengetahuan, wawasan dan spiritual. Jika kita mampu mengatur ritme kegiatan seperti ini, pasti kehidupan kita akan menjadi dinamis, berwawasan dan selalu baru.