Senin, 10 Desember 2018

TEMAN SEJATI

Ada sebuah pohon yg sedang berbuah lebat, buahnya terlihat kuning keemasan dan sangat menggiurkan. Seekor burung jalak terbang ke pohon tersebut, dengan suara tinggi berteriak memuji pohon tersebut. "Pohon yang subur, engkau terlihat indah dengan buah-buahmu ini." Pohon yang mendengar pujian tersebut berkata kepada burung jalak, "Teman, tinggallah di atas saya!" Kemudian, seekor burung kenari terbang dan hinggap di atas dahan pohon tersebut, sambil bernyanyi, "Pohon ini sangat hijau, buahnya sangat harum dan kelihatan enak." Pohon berkata kepada burung kenari ini, "Jika engkau ingin memakan buah in, ambil saja!" Tiba-tiba seekor burung belatuk terbang ke pohon tersebut. Ia mematuk-matuk di sana-sini di badan pohon itu, patukannya membuatkan pohon sangat sakit, sambil menjerit kesakitan berteriak kepada burung belatuk. Burung belatuk berkata, "Aku melihat di dalam tubuh kamu ada seekor ulat, saya ingin mematuknya keluar, jika tidak kamu akan sakit dimakan ulat." Si pohon dengan marah berkata, "Jangan bercakap kosong, engkau mematuk aku kerana sengaja ingin membunuh aku, cepat pergi dari sini!" Burung belatuk akhirnya terbang pergi. Tidak berapa lama kemudian, pohon itu menderita sakit, daunnya berubah kuning kemudian gugur. Dahannya juga layu, tidak berbuah lagi. Burung jalak terbang meninggalkannya, burung kenari juga tidak datang bernyanyi lagi. Pada saat itu burung belatuk datang lagi, walau bagaimanapun pohon menjerit kesakitan, ia tidak peduli, burung belatuk terus mematuk hingga seluruh ulat di pohon terpatuk habis. Beberapa hari kemudian, pohon itu tumbuh kembali, daun-daun hijau mula kelihatan, kemudian ia berbuah lagi. Pohon itu dengan perasaan terharu berkata, "Yang bernyanyi dan memuji kita belum tentu teman baik, tetapi yang bersedia menunjukkan kekurangan kita dan membantu kita, itulah teman sejati."

Rabu, 14 November 2018

Lebih kaya dari Bill Gates

Seseorang bertanya pada Bill Gates, "Adakah orang yang lebih kaya dari dirimu?" • Bill Gates menjawab hanya satu orang. Bill Gates mulai cerita: Bertahun-tahun yang lalu, ketika aku belum sekaya ini, aku pergi ke bandara New York. Aku membaca surat kabar yang digelar di sana. Aku tertarik pada salah satu surat kabar tersebut, aku ingin membelinya ternyata uangku tidak cukup. Tiba-tiba seorang pria kulit hitam memanggil saya dan mengatakan, "Koran ini untuk Anda" Aku berkata, "Tapi uangku tidak cukup" Dia berkata "Tidak masalah, aku memberikan anda gratis" • Setelah 3 bulan, aku pergi lagi ke bandara New York. Secara kebetulan cerita itu terjadi lagi, anak yang sama memberiku koran gratis. Aku bilang aku tidak bisa menerimanya lalu ia berkata, "Aku akan memberimu keuntungan dari apa yang telah aku lakukan" Setelah lewat 19 thn, aku sudah kaya dan aku memutuskan untuk menemui anak itu. Aku menemukannya setelah satu setengah bulan mencarinya. Aku bertanya padanya, "Kau kenal aku?" Dia bilang, "Ya, kau terkenal. Namamu Bill Gates" Aku bilang, "Beberapa tahun yang lalu kau memberiku surat kabar gratis 2 kali, sekarang aku ingin mengimbangimu. Aku akan memberikan semua yang kau inginkan" Pemuda kulit hitam itu menjawab, "Anda tidak dapat mengimbangiku" Aku tanya kenapa? Dia berkata : *"Karena aku memberimu ketika aku miskin sedangkan Anda ingin memberi saya ketika Anda kaya. Jadi bagaimana Anda bisa mengimbangiku?* Bill Gates bilang: Kurasa pria kulit hitam itu lebih kaya dari aku. Pelajaran berharga yang kuambil darinya adalah kita tidak harus menunggu kaya untuk memberi sesuatu. Memberi dari kelebihan itu biasa, tetapi memberi dari kekurangan kita itu tidak biasa dan sangat luar biasa dan tidak banyak orang yg melakukannya. Jangan menunda untuk memberi, Jangan terlalu banyak berpikir/hitung2an untuk memberi, Jangan memandang Suku, Agama, Ras dan status sosial dalam memberi.💙 Berilah, maka kamu akan diberi Lebih banyak berkat memberi daripada menerima!

Jumat, 05 Oktober 2018

Bulu Kemoceng

Seorang murid meminta maaf kepada gurunyayang telah difitnahnya. Sang guru hanya terseyum. “Apa kau serius?” tanya sang guru. “Saya serius, Guru, Saya benar-benar ingin menebus kesalahan saya.” Sang Guru terdiam sejenak. Lalu ia bertanya, “Apakah kamu punya sebuah kemoceng di kamarmu?” “Ya, saya punya sebuah kemoceng Guru. Apa yang harus saya lakukan dengan kemoceng itu?” “Besok pagi, berjalanlah dari kamarmu ke pondokku. Berkelilinglah lapangan sambil mencabuti bulu-bulu dari kemoceng itu. Setiap kali kamu mencabut sehelai bulu, ingat-ingat perkataan burukmu tentang aku, lalu jatuhkan di jalanan yang kamu lalui. Kamu akan belajar sesuatu darinya.” Keesokan harinya, sang murid menemui Guru dengan sebuah kemoceng yang sudah tak memiliki sehelai bulu pun pada gagangnya. Ia segera menyerahkan gagang kemoceng itu pada Sang Guru. “Ini, Guru, bulu-bulu kemoceng ini sudah saya jatuhkan satu per satu sepanjang perjalanan. Saya berjalan lebih dari tiga kilo dari kamar saya ke pondok ini. Saya mengingat semua perkataan buruk saya tentang Guru. Maafkan saya, Guru.” Sang Guru terdiam sejenak, lalu berkata, “Kini pulanglah. Pulanglah dengan kembali berjalan kaki dan menempuh jalan yang sama dengan saat kamu menuju pondokku. Di sepanjang jalan kepulanganmu, pungutlah kembali bulu-bulu kemoceng yang tadi kau cabuti satu per satu. Esok hari, laporkan kepadaku berapa banyak bulu yang bisa kamu kumpulkan.” Sepanjang perjalanan pulang, sang murid berusaha menemukan bulu-bulu kemoceng yang tadi dilepaskan di sepanjang jalan. Hari yang terik. Perjalanan yang melelahkan. Betapa sulit menemukan bulu-bulu itu. Mereka tentu saja telah tertiup angin, atau menempel di bangunan-bangunan perguruan ini.Atau tersapu ke tempat yang kini tak mungkin ia ketahui. Sang murid terus berjalan. Setelah berjam-jam, ia berdiri di depan kamarnya dengan pakaian yang dibasahi keringat. Nafasnya terasa berat. Tenggorokannya kering. Hanya ada lima helai bulu kemoceng yang berhasil ditemukan di sepanjang perjalanan. Hari berikutnya sang murid menemui Sang Guru dengan wajah yang murung. "Guru, hanya ini yang berhasil saya temukan.” Disodorkannya lima bulu kemoceng ke hadapan sang Guru. "Kini kamu telah belajar sesuatu,” kata sang Guru. “Apa yang telah aku pelajari, Guru?” “Tentang fitnah-fitnah itu,” jawab Sang Guru. “Bulu-bulu yang kamu cabuti dan kamu jatuhkan sepanjang perjalanan adalah fitnah-fitnah yang kamu sebarkan. Meskipun kamu benar-benar menyesali perbuatanmu dan berusaha memperbaikinya, fitnah-fitnah itu telah menjadi bulu-bulu yang beterbangan entah kemana. Bulu-bulu itu adalah kata-katamu. Mereka dibawa angin waktu ke mana saja, ke berbagai tempat yang tak mungkin bisa kamu duga-duga, ke berbagai wilayah yang tak mungkin bisa kamu hitung! “Bayangkan salah satu dari fitnah-fitnah itu suatu saat kembali pada dirimu sendiri. Barangkali kamu akan berusaha meluruskannya, karena kamu benar-benar merasa bersalah telah menyakiti orang lain dengan kata-katamu itu. Barangkali kamu tak ingin mendengarnya lagi. “Tetapi kamu tak bisa menghentikan semua itu! Kata-katamu yang telah terlanjur tersebar dan terus disebarkan di luar kendalimu, tak bisa kamu bungkus lagi dalam sebuah kotak besi untuk kamu kubur dalam-dalam sehingga tak ada orang lain lagi yang mendengarnya. Angin waktu telah mengabadikannya." “Fitnah-fitnah itu telah menjadi dosa yang terus beranak-pinak tak ada ujungnya. Meskipun aku atau siapa pun saja yang kamu fitnah telah memaafkanmu sepenuh hati, fitnah-fitnah itu terus mengalir hingga kau tak bisa membayangkan ujung dari semuanya. “Bahkan meskipun kau telah meninggal dunia, fitnah-fitnah itu terus hidup karena angin waktu telah membuatnya abadi. Maka kamu tak bisa menghitung lagi berapa banyak fitnah-fitnah itu telah memberatkan timbangan keburukanmu kelak.”

PELACUR DAN ROHANIWAN

Seorang rohaniwan yang sudah terkenal super sibuk dengan pengikut melebihi angka satu juta mendapat laporan dari salah seorang muridnya. "Guru, persis di depan rumah Guru, rumah kosong itu sekarang dikontrak seorang wanita yang tidak bersuami. Ia janda dan setiap sore ia menerima tamu. Ada yang datang berkendaraan Audi, ada yang menggunakan Mercedes, ada yang memakai BMW. Wanita itu pasti seorang pelacur, seorang tunasusila. Guru kenapa tidak mengundang, menasehati, supaya sadar. Bukankah perzinahan itu diharamkan oleh agama?" Sang Guru menganggap laporan itu sebagai suatu tantangan. Ia harus menyadarkan pelacur itu. Ia tidak mempersoalkan kekonyolan muridnya yang selama ini lebih memperhatikan para pengunjung pelacur daripada pelajarannya. Si pelacur dipanggil. Sambil mengucapkan salam, ia memasuki ruangan Guru. "Maafkan saya, Guru, saya seorang yang berdosa. Itu sebabnya sebelum ini saya tidak pernah datang ke tempat Guru." "Aku sudah tahu semuanya tentang dirimu. Rupanya kau sadar pula bahwasanya apa yang kau lakukan itu dosa. Lantas kenapa kau melakukannya?" tanya sang Guru. "Maafkan saya sekali lagi, Guru. Saya orang desa, tidak berpendidikan tinggi. Datang ke kota ini karena janji akan diberi pekerjaan. Adik-adikku di kampung dalam keadaan susah. Ayah telah menceraikan ibuku yang sekarang ini sedang sakit-sakitan. Jadi, terpaksa saya ke kota. Ternyata saya ditipu oleh mafia di kota ini, dan saya terdampar dalam dunia gelap," wanita tadi menjelaskan latar belakangnya dan menangis. "Sudahlah, nah sekarang carilah pekerjaan yang baik. Tinggalkan pekerjaanmu yang jelek itu." - demikian nasehat sang Guru. "Baik Guru, terima kasih atas nasehatnya," sambil mengucapkan salam, wanita yang dianggap "tunasusila" itu pamit pulang. Beberapa hari berikutnya, cuaca cukup cerah. Namun tidak berlangsung lama, pada suatu sore sang murid mengeluh lagi. "Guru, wanita itu belum sadar-sadar juga. Ia masih menerima tamu." Sang Guru dengan berang berkata, "Panggil dia kemari. Biar Guru menasehatinya lagi." Kali ini wanita tunasusila itu datang dengan mata merah, bengkak, sepertinya baru menangis. Rupanya sebelum disuruh menghadap sang Guru, si murid tadi sudah menegurnya. "Belum sadar juga kau rupanya?" Sang Guru sudah tidak bisa menahan amarahnya. "Kamu sudah dikuasai setan." "Guru, apa yang harus saya lakukan? Selama seminggu saya tidak menerima tamu. Saya bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Di situ saya diperkosa oleh majikan saya. Padahal dia juga seorang rohaniwan, Guru juga pasti kenal dia. Saya pikir kalau memang demikian, lebih baik sekalian saja saya menjual diri, sudah ketahuan akan dibayar cukup, masih bisa mengirim uang ke kampung," kata wanita itu menangisi nasibnya. "Salah kamu juga. Kau pasti pakai pakaian yang tidak sopan, merangsang majikanmu. Padahal majikanmu itu kan teman baik saya. Kalau kamu pakai pakaian yang begitu merangsang, siapa saja akan tergoda. Itulah kesalahan kamu," sang Guru malah membela majikan sang wanita. Wanita tunasusila itu baru sadar, betapa tunasusilanya masyarakat. "Aneh, kalau para pria merasa terangsang, apa tidak sebaiknya mereka yang harus menggunakan tutup mata? Apa salahnya wanita? Dan kalau seorang rohaniwan saja masih tidak dapat mengendalikan dirinya, lantas apa gunanya dia menjalani kehidupan suci?" "Kau betul-betul sudah dipengaruhi oleh setan. Yang berbicara itu setan. Wanita memang sudah dikodratkan untuk tunduk dan patuh pada kaum pria. Tidak ada harapan lagi bagi kamu, pergilah dari sini," kata sang Guru dengan sangat marah. Sekarang bukan hanya sang murid saja yang memperhatikan pintu rumah wanita tunasusila itu, sang Guru pun mulai memperhatikan siapa saja yang mengunjunginya, jam berapa saja. Setiap kali ada yang mengunjungi rumah itu, sang Guru mengambil satu batu kerikil dan meletakkan di atas meja sudut. Dalam satu bulan saja tumpukannya sudah cukup lumayan, mungkin 90-an batu. Melihat tumpukan itu, menghitung dosa-dosa wanita tunasusila itu, sang Guru sudah tidak dapat menahan diri lagi. Sekali lagi, ia mengirimkan utusan untuk memanggilnya. "Lihatlah tumpukan batu kerikil itu, semua itu dosa-dosamu." Si pelacur tetap membisu, air mata mengalir terus, membasahi pipinya. Tanpa pamit, ia langsung pulang. Beberapa hari kemudian, sang Guru yang memang sudah tua itu meninggal dunia. Ia didatangi oleh malaikat berseragam hitam. Roh sang Guru berang. "Eh, kalian salah, yang menjemput saya seharusnya Utusan dari Surga. Mereka berseragam putih. Demikianlah yang saya baca dalam buku-buku suci selama ini." "Memang kami dari Neraka, tetapi tidak salah. Dalam surat perintah yang diberikan kepada kami, memang nama Anda yang tercantum." Utusan Neraka menunjukkan surat perintahnya. Roh Guru memeriksa keabsahan surat itu, capnya juga sudah benar. Persis demikian menurut kitab-kitab yang dia pelajari selama ini. Tetapi kenapa harus Utusan Neraka yang menjemput dia? Ia menoleh ke bawah, jasadnya dikerumuni oleh massa, sesaat lagi ia akan dikuburkan. Para murid mengelilingi jasadnya sambil membacakan doa-doa. "Lihatlah, lihatlah mereka begitu menghormati jasadku. Kau salah. Seharusnya aku dijemput oleh Utusan Surga yang berseragam putih." Utusan Neraka melihat ke bawah. Benar juga, memang jasad sang Guru dihormati. Ia pun berpikir kembali, mungkin dia salah. Mungkin terjadi kesalahan teknis. Sambil mengeluarkan telepon genggamnya, Utusan Neraka memohon kesabaran kliennya itu. "Ternyata tidak salah, memang kau yang harus ke Neraka," - setelah bicara dengan Manajer Perusahaan Tak Terbatas tadi, Utusan Neraka menjelaskan kepada roh sang Guru. "Wah ini kolusi, korupsi, di Neraka dan Surga rupanya ada sistem nepotisme, harus ada reformasi. Tunggu dulu, kalau saya ke sana, saya akan melakukan reformasi besar-besaran. Dan kau, Utusan Neraka, kau sudah bisa menghitung hari-harimu. Sebentar lagi akan kena PHK. Saya akan melaporkan hal ini kepada Tuhan," roh sang Guru sudah tidak dapat menahan diri lagi. Sebenarnya Utusan Neraka pun sudah bingung. Di mana kesalahannya? Sementara roh sang Guru masih mencaci-maki dia. Tiba-tiba, eh itu apa lagi, lihat di sana itu, ada Utusan Surga berseragam putih: "Sedang ke mana dia?" roh sang Guru bertanya. "Panggil dia, dia pasti sedang menjemput saya. Coba lihat surat perintahnya." Utusan Neraka menggunakan HP-nya, untuk menghubungi Utusan Surga. "Kawan, kau mau ke mana? "Ah, kawan, aku sedang menjemput seorang wanita nih." jawab Utusan Surga. "Wanita yang mana?" tanya Utusan Neraka. "Wanita tunasusila katanya." Utusan Surga menjelaskan. "Tidak salah kau, sahabatku? Rupanya surat perintah kita tertukar. Saya justru disuruh menjemput Guru. Dia lagi marah-marah. Tinggalnya di mana wanita itu?" tanya Utusan Neraka yang merasa penasaran. "Wah harus di cek ulang nih, rupanya wanita itu tinggal persis di depan rumah Guru yang kau jemput itu?" Utusan Surga tak kalah terkejut. "Kalau begitu, ya kau jemput saja wanita itu, dan kita bertemu di Lobby Wisma Surga-Neraka. Saya juga ke sana dengan roh Guru yang saya jemput." Utusan Neraka memberi solusi. "Lihat itu, betul kan, kalian sudah tidak becus mengurus semuanya ini. Sudah terlalu lama tidak terjadi pembaharuan. Harus dilakukan reformasi. Tunggu saja kalian, nanti kalau murid-murid saya mati, saya akan ajak roh-roh mereka berdemonstrasi. Kalian harus mengundurkan diri. Salah melulu-salah melulu. Seorang Guru dibawa ke Neraka, seorang pelacur dibawa ke Surga." Roh Guru mendapat angin segar, harapan baru. Tiba di Lobby Wisma Surga-Neraka, roh Guru menghindari kontak mata dengan roh sang Pelacur yang menyalaminya. "Guru, tadi aku mendengar pembicaraan Utusan Surga yang menjemput aku, dengan Utusan Neraka yang menjemput Guru. Aku sudah tahu, pasti terjadi kesalahan. Maafkan aku. Setelah mati pun aku masih menyusahkan Guru." "Sudah-sudah, cukup, tidak usah bertele-tele. Bukankah dari dulu sudah aku katakan, kau sudah kena hasutan setan, memang nerekalah tempat yang paling tepat bagi kamu." Roh Guru memang sudah kesal. Sementara para penjemput mereka sibuk memeriksa data-data komputer di ruang atas, mereka dipersilahkan menunggu di Lobby. Sang Guru, karena statusnya masih "klien neraka", disuguhi air putih. Sang Pelacur, yang statusnya"klien surga", disuguhi orange-juice. Sang Pelacur merasa malu, ia menawarkan juice itu kepada sang Guru. "Sudah-sudah, kau saja yang minum. Sebentar lagi juga kau menjadi penghuni Neraka, di sana minum air putih terus, sampai kembung perutmu. Sekarang minum saja juice itu, kau tidak akan mendapatkan juice lagi, sampai hari kiamat," sang Guru tidak dapat menutupi rasa kecewanya. Aneh sekali, tetapi ternyata tidak ada kesalahan data. Memang roh sang Guru harus masuk Neraka dan roh Pelacur harus masuk Surga. Print-out komputer menjelaskan: "Sepanjang hidupnya, Guru yang dimaksudkan, selalu menghitung dosa-dosa orang lain. Ia selalu memikirkan kesalahan orang lain. Pikiran dia kacau. Penuh dengan kebencian, tidak pernah tenang, sehingga roh dia harus menjalani proses pembersihan di Neraka. Sementara itu, karena mulut dia merupakan bagian dari fisiknya, dari badan kasatnya, banyak juga membicarakan tentang hal-hal yang baik, maka badan kasatnya dihormati orang banyak, dan jasadnya dikuburkan dengan upacara penuh khidmat. Tetapi rohnya harus ke Neraka. Sebaliknya, sang Pelacur memang melacurkan badannya. Itu sebabnya tidak ada yang mengurusi jasadnya. Mungkin mayatnya akan menjadi makanan anjing-anjing jalanan. Tetapi, pikiran dia selalu bersih. Ia selalu menyesali perbuatannya sehingga rohnya layak menghuni Surga."

Jumat, 27 Juli 2018

Batu kecil

Seorang mandor bangunan yg berada di lantai 5 ingin memanggil pekerjanya yang lagi bekerja di bawah. Setelah sang mandor berkali-kali berteriak memanggil, si pekerja tidak dapat mendengar karena fokus pada pekerjaannya dan bisingnya alat bangunan. Sang mandor terus berusaha agar si pekerja mau menoleh ke atas, dilemparnya Rp. 1.000- yg jatuh tepat di sebelah si pekerja. Si pekerja hanya memungut Rp 1.000 tersebut dan melanjutkan pekerjaannya. Sang mandor akhirnya melemparkan Rp 100.000 dan berharap si pekerja mau menengadah "sebentar saja" ke atas. Akan tetapi si pekerja hanya lompat kegirangan karena menemukan Rp 100.000 dan kembali asyik bekerja. Pada akhirnya sang mandor melemparkan batu kecil yang tepat mengenai kepala si pekerja. Merasa kesakitan akhirnya si pekerja baru mau menoleh ke atas dan dapat berkomunikasi dengan sang mandor. Cerita tersebut di atas sama dengan kehidupan kita, Tuhan selalu ingin menyapa kita, akan tetapi kita selalu sibuk mengurusi "dunia" kita. Kita diberi rejeki sedikit maupun banyak, sering kali kita lupa untuk menengadah bersyukur kepada-NYA. Bahkan lebih sering kita tidak mau tahu dari mana rejeki itu datang. Bahkan kita selalu bilang, "Saya lagi beruntung." Yang lebih buruk lagi kita menjadi takabur dengan rejeki yang berasal dari Tuhan. Jadi jangan sampai kita mendapatkan lemparan "batu kecil" yang kita sebut musibah agar kita mau menoleh kepada-NYA. Sungguh Tuhan sangat mencintai kita. Marilah kita selalu ingat untuk menoleh kepada-NYA sebelum mendapat lemparan batu kecil.

Fokus

Ada seorang anak yang setiap hari rajin sholat ke masjid, lalu suatu hari ia berkata kepada ayahnya, "Yah mulai hari ini saya tidak mau ke masjid lagi" "Lho kenapa?" sahut sang ayah. "Karena di masjid saya menemukan orang² yang kelihatannya agamis tapi sebenarnya tidak, ada yang sibuk dengan gadgetnya, sementara yang lain membicarakan keburukan orang lain". Sang ayah pun berpikir sejenak dan berkata, "Baiklah kalau begitu, tapi ada satu syarat yang harus kamu lakukan setelah itu terserah kamu". "Apa itu?" "Ambillah air satu gelas penuh, lalu bawa keliling masjid, ingat jangan sampai ada air yang tumpah". Si anak pun membawa segelas air berkeliling masjid dengan hati², hingga tak ada setetes air pun yang jatuh. Sesampai di rumah sang ayah bertanya, "Bagaimana sudah kamu bawa air itu keliling masjid?", "Sudah". "Apakah ada yang tumpah?" "Tidak". "Apakah di masjid tadi ada orang yang sibuk dengan gadgetnya?". "Wah, saya tidak tahu karena pandangan saya hanya tertuju pada gelas ini", jawab si anak. "Apakah di masjid tadi ada orang² yang membicarakan kejelekan orang lain?", tanya sang ayah lagi. "Wah, saya tidak dengar karena saya hanya konsentrasi menjaga air dalam gelas". Sang ayah pun tersenyum lalu berkata, "Begitulah hidup anakku, jika kamu fokus pada tujuan hidupmu, kamu tidak akan punya waktu untuk menilai kejelekan orang lain. Jangan sampai kesibukanmu menilai kualitas orang lain membuatmu lupa akan kualitas dirimu". Marilah kita fokus pada diri sendiri dalam beribadah, bekerja dan untuk terus menerus bebenah menjadi positif.

Minggu, 15 Juli 2018

Saat Hening

Seorang tukang kayu. Suatu saat ketika sedang bekerja, secara tak disengaja arlojinya terjatuh dan terbenam di antara tingginya tumpukan serbuk kayu. Arloji itu adalah sebuah hadiah dan telah dipakainya cukup lama. Ia amat mencintai arloji tersebut. Karenanya ia berusaha sedapat mungkin untuk menemukan kembali arlojinya. Sambil mengeluh mempersalahkan keteledoran diri sendiri si tukang kayu itu membongkar tumpukan serbuk yang tinggi itu. Teman-teman karyawan yang lain juga turut membantu mencarinya. Namun sia-sia saja. Arloji kesayangan itu tetap tak ditemukan. Tibalah saat makan siang. Para pekerja serta pemilik arloji tersebut dengan semangat yang lesu meninggalkan bengkel kayu tersebut. Saat itu seorang anak yang sejak tadi memperhatikan mereka mencari arloji itu, datang mendekati tumpukan serbuk kayu tersebut. Ia menjongkok dan mencari. Tak berapa lama berselang ia telah menemukan kembali arloji kesayangan si tukang kayu tersebut. Tentu si tukang kayu itu amat gembira. Namun ia juga heran, karena sebelumnya banyak orang telah membongkar tumpukan serbuk namun sia-sia. Kini cuman dia seorang diri saja, dan berhasil menemukan arloji itu. ‘Bagaimana caranya engkau mencari arloji ini?’ Tanya si tukang kayu. ‘Saya hanya duduk secara tenang di lantai. Dalam keheningan itu saya bisa mendengar bunyi ‘to-tak, tok-tak’. Dengan itu saya tahu di mana arloji itu berada.’ Anak itu menjawab. Renungan : Keheningan adalah pekerjaan rumah yang paling sulit diselesaikan selama hidup. Sering secara tidak sadar kita terjerumus dalam seribu satu macam ‘kegaduhan’. Jika diibaratkan gelas yang berisi air dan ada partikel atau pasir di dalamnya maka saat pikiran aktif yang kita lakukan adalah kita mengaduk-aduk isi gelas. Apa yang terjadi? Isi gelas akan menjadi keruh karena pasir akan naik . Maka sebenarnya yang kita lakukan adalah mendiamkan isi gelas (baca: pikiran) dan memberikan waktu pasir untuk turun dan mengendap. Setelah itu air akan menjadi bening dan jernih. Saat itu pikiran kita menjadi segar dan kuat.

Selasa, 03 April 2018

Kebaikan membawa kebaikan

Presiden Xi Jin Ping dari Tiongkok berkata: Ketika saya masih kecil, saya sangat egois, selalu mengambil yang terbaik untuk diri saya sendiri. Perlahan-lahan, semua orang meninggalkan saya dan saya tidak punya teman. Saya tidak berpikir itu salah saya tetapi saya mengkritik dan menyalahkan orang lain. Ayah saya memberi saya 3 kalimat untuk membantu saya dalam hidup. Suatu hari, ayah saya memasak 2 mangkuk mie dan meletakkan 2 mangkuk di atas meja. Satu mangkuk hadir dengan satu telur di bagian atas mie dan mangkuk lainnya tidak memiliki telur di atasnya. Ayah berkata, "Anakku. Silahkan kamu pilih. Mangkuk mana yang kamu inginkan ”. Telur sulit didapat saat itu! Hanya bisa makan telur selama festival atau Tahun Baru. Tentu saja saya memilih mangkuk dengan telur! Saat kami mulai makan. Saya mengucapkan selamat kepada diri saya sendiri atas pilihan dan keputusan bijak yang saya lakukan dan mendapatkan telur itu. Lalu saya terkejut ketika ayahku makan mie, ada dua telur di bawah mangkuknya, tersembunyi di bagian bawah mie! Saya sangat menyesal! Dan memarahi diriku sendiri karena terlalu terburu-buru dalam keputusanku. Ayah saya tersenyum dan iba kepada saya, ”Anakku. Kamu harus ingat apa yang dilihat mata Anda mungkin tidak benar. Jika kamu berniat mengambil keuntungan dari orang-orang, kamu akan berakhir dengan kekalahan!” Keesokan harinya, ayah saya kembali memasak 2 mangkuk mie: satu mangkuk dengan telur di atasnya dan mangkuk lainnya tanpa telur di atasnya. Sekali lagi, dia meletakkan dua mangkuk di atas meja dan berkata kepada saya, ”Anakku. Silahkan kamu pilih. Mangkuk mana yang kamu inginkan? ”Kali ini saya lebih pintar. Saya memilih mangkuk tanpa telur di atasnya. Yang mengejutkan saya, saat saya memisahkan mie di atas, tidak ada satu pun telur di dasar mangkuk! Sekali lagi ayah saya tersenyum dan berkata kepada saya, “Anakku, kamu tidak harus selalu bergantung pada pengalaman karena kadang-kadang, hidup dapat mengecohmu atau menipu kamu. Tetapi kamu tidak boleh terlalu jengkel atau sedih, hanya memperlakukan ini sebagai pengetahuan yang kamu dapat sebagai proses pembelajaranmu. Kamu tidak akan mendapatkan pelajaran semacam ini dari buku teks. Hari ketiga, ayah saya lagi memasak 2 mangkuk mie, lagi satu mangkuk dengan telur di atas dan mangkuk lainnya tanpa telur di atasnya. Dia meletakkan 2 mangkuk di atas meja dan kembali berkata kepada saya, ”Anakku. Silahkan kamu pilih. Mangkuk mana yang kamu inginkan?”. Kali ini, aku memberi tahu ayahku, "Ayah, kamu pilih dulu. Ayah adalah kepala keluarga dan berkontribusi paling banyak kepada keluarga." Ayah saya tidak menolak dan memilih mangkuk dengan satu telur di atasnya. Saat saya makan semangkuk mie saya, di hati saya berkata pasti tidak ada telur di dalam mangkuk. Yang mengejutkan saya! Ada dua telur di dasar mangkuk. Ayah saya tersenyum kepada saya dengan cinta di matanya, "Anakku, kamu harus ingat! Ketika kamu berpikir untuk kebaikan orang lain, hal-hal baik akan selalu alami terjadi pada dirimu!" Saya selalu ingat 3 kalimat nasehat ayah saya dan hidup dng melakukan sesuai nasihatnya. Dan benar, saya bisa sukses besar. Xi Jin Ping