Senin, 08 Oktober 2012

KOMITMEN DALAM PERNIKAHAN

Salah satu ciri pernikahan kristiani adalah memiliki komitmen secara total. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata komitmen berarti perjanjian (keterikatan) untuk melakukan sesuatu. Pernikahan kristiani bukanlah hubungan "kumpul kebo" tanpa ikatan, melainkan hubungan seorang pria dan wanita yang diikat oleh perjanjian seumur hidup dan komitmen secara total yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Hubungan pernikahan itu menggambarkan hubungan Kristus dengan jemaat-Nya (baca Efesus 5:21-23). Kristus telah mengurbankan diri-Nya dan mengasihi umat-Nya tanpa pamrih, serta berjanji untuk selalu menyertai umat-Nya (Matius 28:20). Dalam 1 Korintus 13:4-7, Rasul Paulus mengajarkan agar suami istri saling mengasihi (Efesus 5:28-30) seperti Yesus Kristus yang telah mengasihi umat-Nya. Suami istri yang bersatu dengan Kristus adalah satu anggota tubuh Kristus (1 Korintus 12:27).

Komitmen total seperti yang telah Yesus Kristus lakukan dalam kehidupan dan kematian-Nya, hendaknya diterapkan juga dalam pernikahan kristiani. Suami istri hendaknya berkomitmen untuk saling mengasihi dan memerhatikan pasangan, apa pun yang terjadi.

Elizabeth Achteimeier dalam buku "The Committed Marriage" menyatakan pernikahan kristiani seharusnya memunyai komitmen dalam enam hal: komitmen secara total, komitmen untuk menerima, komitmen secara eksklusif, komitmen terus-menerus, komitmen yang bertumbuh, dan komitmen yang berpengharapan. Dengan adanya komitmen dalam keenam hal ini, kehidupan pernikahan suami istri akan lebih berhasil.

1. Pernikahan kristiani harus memiliki komitmen secara total. Hal ini berarti pasangan menyerahkan diri secara menyeluruh dalam hubungan pernikahan. Dengan demikian, masing-masing pihak berprinsip: "Apa pun yang terjadi, kita akan tetap mempertahankan pernikahan ini." Dedikasi secara total berarti bersedia mendampingi meskipun dalam hal-hal yang tidak menguntungkan, mau menyelesaikan masalah, dan melakukannya dengan pertolongan Kristus yang menyertai kedua pasangan. Pernikahan yang berhasil tidak otomatis terwujud, ini tercapai hanya karena anugerah Allah dan hasil upaya bersama dari suami istri.

2. Pernikahan kristiani adalah pernikahan yang memunyai komitmen untuk menerima. Suami mau menerima keberadaan istri sepenuhnya, lengkap dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Pasangan kita itu bukan Anda, ia diciptakan menurut rupa Allah bukan rupa kita. Jadi, jangan berusaha untuk menjadikannya seperti kita. Dan, pasangan kita diharapkan untuk terus berubah menyerupai Kristus, bukan menyerupai kita. Maka dari itu, menerima apa pun keberadaan pasangan harus dilakukan dengan komitmen yang sungguh.

Selain menerima berbagai kelebihan pasangan, belajar untuk menerima ketidaksempurnaan pasangan juga harus terus dilakukan. Namun, ini tidak berarti kita harus menerima kebiasaan buruk atau perbuatan kriminal pasangan kita. Kedua hal itu harus diubah atau bahkan dibuang. Selain menerima, dalam pernikahan kristiani juga harus memberi. Tetaplah memberi, sekalipun Anda berpikir pasangan Anda tidak layak menerima kasih Anda. Sikap seperti ini mencerminkan kasih Kristus yang Ia berikan kepada umat yang sebenarnya juga tidak layak menerima kasih-Nya. Kasih yang Yesus Kristus ajarkan adalah kasih yang diberikan tanpa paksaan dan diwujudkan dalam bentuk penyerahan. Kasih diwujudkan dalam hal memberi. Ini mencakup pemberian kebebasan kepada pasangan untuk menjadi dirinya sendiri, kreatif, unik, dan berkembang.

3. Pernikahan kristiani memiliki komitmen secara eksklusif. Dalam pernikahan kristiani, suami istri tidak boleh dibagi dengan orang lain. Masing-masing pihak, suami dan istri, tidak diperbolehkan melakukan zinah dan memiliki wanita atau pria idaman lain, serta melakukan hubungan homoseksual atau lesbian (Keluaran 20:14 dan Roma 1:26-27).

Dalam kenyataan, banyak pernikahan yang hancur karena hadirnya pihak ketiga. Oleh karena itu, jangan biarkan pihak ketiga hadir dalam pernikahan Anda, bahkan sekalipun Anda tidak melakukan hubungan intim dengannya. Juga, jangan biarkan kehadiran anak memisahkan kesatuan Anda dengan pasangan. Jangan menggunakan anak sebagai alasan untuk membiarkan suami merasa kesepian. Jika hal ini terjadi, suami akan lebih mudah mencari hiburan dari orang lain.

4. Pernikahan kristiani memunyai komitmen yang terus-menerus. Pernikahan itu seumpama seorang bayi yang terus mengalami perkembangan. Oleh karena itu, pernikahan kristiani menuntut adanya komitmen yang terus-menerus, untuk menjaga kehidupan pernikahan di tengah berbagai perubahan yang terjadi.

Seperti kasih Kristus kepada umat-Nya yang tidak hanya sekali, namun terus berkelanjutan, demikian jugalah hendaknya komitmen dalam pernikahan kristiani -- tidak berubah, namun justru semakin kuat dalam setiap tahap kehidupan.

5. Pernikahan kristiani memiliki komitmen yang bertumbuh. Komitmen ini semakin lama semakin dalam dan dewasa karena akan melewati liku-liku perjalanan hidup bersama-sama. Proses pendewasaan pernikahan terkadang mudah dilalui dan terkadang sulit ditempuh, sehingga pasangan terkadang perlu memperbarui komitmen sebelumnya dan terus-menerus mempererat hubungan dengan pasangannya.

Pernikahan yang bertumbuh hanya dapat diciptakan oleh pasangan yang mandiri, yang tidak lagi bergantung kepada orang tua, dan yang tidak bergantung pada orang lain untuk memenuhi kepuasan emosional dan seksualnya. Suami istri memang sebaiknya saling bergantung, namun bukan berarti masing-masing pihak dituntut untuk memenuhi seluruh kebutuhan pasangannya baik secara jasmani, rohani, dan kejiwaan. Hanya Tuhan yang sanggup memberikan kepuasan total bagi kita. Oleh karena itu, suami istri perlu mengembangkan diri semaksimal mungkin sesuai dengan rencana Tuhan, sehingga hidup mereka dapat berarti dan dapat merasakan kepuasan hidup.

Pernikahan kristiani yang bertumbuh juga hanya dapat terjadi dalam pernikahan pasangan dewasa. Artinya, itu hanya akan terjadi dalam pernikahan yang saling memerhatikan kepentingan pasangan, peka terhadap pasangannya, mau berkorban demi kebaikan pasangan, bertanggung jawab, menjaga harga dirinya sendiri, dan mengembangkan talenta diri. Itulah dasar kedewasaan yang sejati. Dengan kata lain, pernikahan yang berkembang tidak lagi memikirkan "saya", tetapi "kita". Masing-masing perlu menyesuaikan diri dengan kebutuhan pasangan dalam berbagai hal, seperti kebiasaan, waktu, emosi, dan cinta kasih. Seandainya suami lebih senang bekerja hingga larut malam, seyogianya suami tidak selalu tidur terlalu malam agar istri tidak merasa kesepian karena harus tidur sendirian. Dalam hal ini, kedua belah pihak harus memiliki kebijaksanaan untuk menyesuaikan diri dengan pasangannya. Demikian juga dalam hal hubungan kita dengan anggota keluarga yang lain.

Pernikahan yang berkembang bukanlah pernikahan yang terasa manis pada beberapa bulan pertama pernikahan saja, melainkan pernikahan yang bahkan semakin manis seiring berjalannya waktu. Untuk mencegah timbulnya rasa jenuh dalam pernikahan, Anda perlu secara teratur menyediakan waktu khusus untuk memperbarui kasih Anda. Misalnya dengan berlibur bersama, membiasakan diri untuk berbagi cerita setiap hari, atau mengikuti program yang dapat memupuk kasih suami istri (marriage enrichment). Hal ini sesuai dengan isi firman Tuhan dalam Efesus 4:13 (versi BIS), "Dengan demikian kita semua menjadi satu oleh iman yang sama dan pengertian yang sama mengenai Anak Allah. Dan kita menjadi orang-orang yang dewasa yang makin lama makin bertambah sempurna seperti Kristus."

6. Pernikahan kristiani memiliki komitmen yang berpengharapan. Meskipun kita tidak mengetahui apa yang akan terjadi pada masa depan kita, namun tetaplah memiliki pengharapan di dalam Kristus. Suami/istri yang merasa pernikahannya tidak berpengharapan, tidak akan berusaha untuk mempertahankan pernikahannya lagi, sehingga pernikahannya akan hancur dengan lebih cepat. Tugas kita dalam pernikahan adalah memberikan diri kita kepada pasangan dalam kasih dengan penuh pengharapan, sama seperti Yesus Kristus yang memberikan diri-Nya kepada umat-Nya. Pengharapan kita semata-mata hanya karena Kristus dan di dalam Kristus.

Bagaimana dengan komitmen Anda berdua terhadap pernikahan Anda? Selamat berbahagia dan tetaplah pegang teguh komitmen Anda!

Senin, 01 Oktober 2012

PERNIKAHAN KRISTIANI

TUJUAN DAN HAKIKAT PERNIKAHAN KRISTIANI

Pada umumnya, pasangan-pasangan yang akan menikah menjadi sibuk saat mempersiapkan perayaan pernikahan. Agar acara pemberkatan dan resepsi pernikahan berjalan lancar, mereka rela mengerahkan segenap daya, tenaga, dan dana. Prosesi pemberkatan dan resepsi tersebut tentu akan segera berlalu, namun mereka harus terus mempertahankan pernikahan seumur hidup.

Untuk mempertahankan pernikahan, setiap pasangan harus memahami hakikat dan tujuan pernikahan. Sayangnya, ada beberapa orang yang tidak terlalu serius dalam mengerahkan segenap kemauan, akal budi, daya, dan dana untuk memahami hakikat dan tujuan pernikahan Kristen dengan baik dan jelas. Jika seseorang tidak memunyai visi dalam pernikahan, maka sesungguhnya dia telah melakukan tindakan "bunuh diri". Cepat atau lambat, pernikahan dan cintanya akan layu dan mati. Untuk menghindari hal ini, saat berpacaran atau sebelumnya, sebaiknya Anda menanyakan tujuan hidup dan pernikahan yang ada di benak orang yang Anda sayangi. Diskusikan itu dengan konselor untuk membantu Anda mengerti, apakah visi itu cukup jelas saat memasuki pernikahan Anda atau tidak.

Hakikat Pernikahan
Pernikahan yang baik adalah komitmen total dari dua orang di hadapan Tuhan dan sesama. Pernikahan yang baik didasarkan pada kesadaran bahwa pernikahan ini adalah kemitraan yang mutual. Pernikahan yang baik juga melibatkan Tuhan secara proaktif di dalam setiap pengambilan keputusan, sebab pernikahan adalah sebuah rencana ilahi yang istimewa. Dengan demikian, pernikahan seharusnya tetap dijaga dan dipertahankan di dalam kekuatan Roh yang mempersatukan kedua insan.

a. Pernikahan adalah Suatu Perjanjian ("Covenant")
Secara simbolis, orang yang menikah mengucapkan janji nikahnya di gereja. Secara sederhana, perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua individu/kelompok atau lebih. Perjanjian pernikahan adalah mengasihi ("to love") dan dikasihi ("to be loved"). Menurut Balswick, ada tiga hal yang dapat kita pelajari dari perjanjian yang Allah tetapkan. Pertama, perjanjian itu sepenuhnya merupakan tindakan Allah, bukan sesuatu yang bersifat kontrak. Komitmen Allah ini tetap berlangsung, tidak bergantung pada manusia. Kedua, Allah menghendaki respons dari manusia. Namun, ini bukan berarti perjanjian tersebut bersifat kondisional. Perjanjian itu tetap menjadi satu perjanjian yang kekal, terlepas dari apakah umat Tuhan melakukannya atau tidak. Ketiga, Allah menyediakan berkat-berkat dan keuntungan bagi mereka yang menuruti perjanjian tersebut. Manusia diberi kebebasan untuk memilih, untuk hidup dalam perjanjian itu atau menolaknya.

Menurut R.C. Sproul, pernikahan bukanlah hasil dari satu perkembangan kebudayaan manusia. Institusi pernikahan ditetapkan seiring dengan Penciptaan itu sendiri. Senada dengan itu, John Stott berkata, "...perkawinan bukanlah temuan manusia. Ajaran Kristen tentang topik ini diawali dengan penegasan penuh kegembiraan bahwa perkawinan adalah gagasan Allah, bukan gagasan manusia... perkawinan sudah ditetapkan Allah pada masa sebelum kejatuhan manusia ke dalam dosa."

Jika demikian, pengertian di atas mengandung tiga implikasi penting. Pertama, setiap orang yang mau menikah seharusnya memberikan atensi pada pengenalan eksistensi Allah sebagai pendiri lembaga ini. Kedua, memberikan Allah otoritas penuh dalam memimpin lembaga ini sehingga komunikasi suami-istri bersifat trialog. Artinya, Allah dilibatkan dalam setiap proses pengambilan keputusan. Ketiga, pernikahan diikat oleh komitmen seumur hidup, sebab perjanjian itu bukan kepada manusia, melainkan kepada Allah sendiri. Dengan memahami pernikahan sebagai satu ikatan perjanjian dengan Allah, maka calon suami istri disadarkan agar senantiasa bergantung pada kekuatan Allah dalam menjalani pernikahan.

b. Pernikahan adalah Kesaksian
Dalam Efesus 5:32, Paulus menggambarkan hubungan suami dan istri seperti hubungan Allah dan jemaat-Nya. Artinya, dengan menikah, orang Kristen dipanggil masuk ke dalam satu panggilan pelayanan khusus, yakni menyaksikan Kristus melalui wadah keluarga. Implikasinya adalah hubungan dan komunikasi suami istri menjadi wadah anak-anak belajar mengenal kasih Tuhan.

Di samping itu, keluarga juga menjadi tempat persiapan dan latihan anak-anak untuk menjadi suami atau istri dan menjadi orang tua. Selanjutnya, model itu akan terus terbawa ke dalam pola mereka mendidik anak-anak kelak. Pernikahan yang sehat dan berfungsi, pada umumnya, akan menghasilkan anak-anak yang sehat pula. Jadi, setiap mereka yang akan menikah dan menjadi orang tua perlu menyadari konsekuensi ini -- dipanggil menjadi reflektor kasih Allah bagi anak-anak. Dalam tulisannya, "Parenting: A Theological Model", Myron Charter  menjabarkan tujuh dimensi dari kasih Allah Bapa yang harus direfleksikan setiap orang tua, yakni: sikap yang penuh peduli, tanggung jawab, disiplin, murah hati, respek, pengenalan, dan pengampunan.

Tujuan Pernikahan
Tujuan pernikahan bukanlah kebahagiaan seperti yang diangan-angankan banyak muda-mudi sebelum menikah, melainkan pertumbuhan. Kebahagiaan itu justru ditemukan di tengah-tengah perjalanan (proses) pernikahan yang dilandasi cinta kasih Kristus. Kalau tujuan kita menikah adalah bahagia, maka pasangan kita akan kita peralat demi mencapai kebahagiaan itu. Itu sebabnya, orang yang menikah dengan tujuan bahagia justru menjadi yang paling tidak bahagia dalam pernikahannya. Bahkan, tujuan ini banyak mengakibatkan perceraian, dengan alasan ia tidak merasa bahagia dengan pasangannya.

Heuken menyebutkan beberapa tujuan lain yang tidak kuat sebagai landasan untuk menikah. Pertama, demi keperluan psikologis, yakni supaya merasa tidak sendirian atau kesepian. Kedua, demi kebutuhan biologis, yakni agar dapat memuaskan nafsu seks secara wajar. Ketiga, demi rasa aman, yakni supaya memunyai status sosial dan dihargai masyarakat. Keempat, agar memunyai anak. Ini semua bukan merupakan alasan atau tujuan yang kuat mengapa seseorang menikah.

Dalam berumah tangga, kita akan mengalami begitu banyak keadaan dan situasi yang tidak diharapkan. Misalnya, pasangan Anda gagal dalam pekerjaan. Pasangan Anda menyeleweng. Pasangan Anda sakit atau cacat. Kondisi itu pasti tidak menyenangkan. Tetapi kalau Tuhan mengizinkan hal-hal tersebut terjadi, kita perlu belajar dari hal-hal tersebut. Lewat situasi dan keadaan itulah cinta kita diuji, apakah kita tetap berpegang teguh pada janji pernikahan kita dan setia kepada pasangan kita sampai kematian memisahkan. Untuk itu, mari kita pahami tujuan pernikahan Kristen yang akan menguatkan tiang pernikahan kita.

1. Pertumbuhan
Pertumbuhan yang diharapkan adalah agar suami istri dapat melayani Allah dan menjadi saluran berkat bagi sesamanya. Agar pernikahan itu bertumbuh, maka ada dua syarat yang harus dimiliki setiap pasangan.

a. Masing-masing sudah menerima pengampunan Kristus, sehingga mampu saling mengampuni selama berada dalam rumah tangga, yang masing-masing penghuninya bukanlah orang yang sempurna. Usaha diri sendiri pasti akan gagal.

b. Kemampuan beradaptasi, artinya masing-masing tidak memaksa atau menuntut pasangannya, sebaliknya mampu saling memahami dan memberi. Masing-masing menjalankan peran dengan baik, serta mampu menerima kelemahan dan kekurangan pasangannya.

2. Menciptakan Masyarakat Baru Milik Allah
John Stott mengatakan bahwa pernikahan dibentuk Allah dengan tujuan untuk menciptakan satu masyarakat baru milik Allah ("God's new society") -- satu masyarakat tebusan yang dapat menjadi berkat dan membawa kesejahteraan bagi sesamanya.[8] Wadah yang Allah pilih sebagai sarana menyejahterakan manusia tebusan-Nya di dunia ini adalah keluarga. Rencana ini telah Allah tetapkan jauh sebelum manusia jatuh ke dalam dosa. Untuk itu, Allah pertama-tama memilih keluarga Abraham, Ishak, Yakub, dan seterusnya sampai akhirnya dalam keluarga Yusuf dan Maria yang melahirkan Yesus. Demikianlah sampai hari ini, rencana Tuhan bagi setiap pasangan Kristen adalah agar pasangan itu menghasilkan anak-anak perjanjian (anak-anak Tuhan) yang memunyai tanggung jawab untuk merawat dan mengurus bumi ciptaan-Nya ini.[9] (Kejadian 1:26,28)

Di samping itu, melalui setiap keluarga, Allah menghendaki agar setiap suami istri melahirkan keturunan ilahi (anak-anak tebusan Kristus. Baca Maleakhi 2:14-15).[10] Karena itu, berdasarkan prinsip di atas, saya berkeyakinan bahwa setiap anak dalam pernikahan kami adalah anak-anak (karunia/titipan) Tuhan. Mereka bukan baru menjadi anak-anak Tuhan saat mereka dibaptis atau sesudah besar, tetapi sejak dalam kandungan mereka adalah benih ilahi yang Allah percayakan kepada keluarga kami.

Keyakinan ini sangat memengaruhi sikap kita dalam menghargai dan mendidik anak-anak. Juga akan membuat kita memprioritaskan keluarga dengan benar. Tujuan kita adalah mendidik mereka agar menjadi anak-anak Tuhan yang tidak hanya menaati bapak dan ibu mereka secara daging, tetapi juga taat kepada Bapa di surga. Kita juga sungguh-sungguh berusaha membangun kehidupan anak-anak kita, baik secara fisik, mental, maupun spiritual. Tetapi jika Tuhan mengizinkan keluarga kita tanpa seorang anak, rencana Tuhan pun tetap sama indahnya. Dia mempunyai rencana tersendiri bagi keluarga yang tidak dikaruniai anak. Keluarga yang demikian perlu bergumul, mencari tahu apa yang dapat diperbuat untuk menyenangkan hati Tuhan, meski belum ada buah hati. Jika ingin mengadopsi anak, sebaiknya berkonsultasi terlebih dulu dengan konselor.

Anak merupakan upah atau berkat Tuhan bagi keluarga yang dikenan-Nya untuk menerima berkat itu. Tidak memiliki anak bukan berarti dikutuk atau tidak mendapat berkat Allah. Suami istri yang tidak memiliki anak pun, tetap merupakan keluarga yang di dalamnya Allah memiliki rencana tersendiri.