Selasa, 11 September 2012

PKKI X


SENIN sore, 10 September 2012, mulai pukul 17.00, dibukalah Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia yang sering disingkat sebagai PKKI. Pertemuan yang diselenggarakan empat tahunan ini merupakan PKKI yang ke-10. Bertempat di Wisma Shalom, Cisarua, Lembang, Keuskupan Bandung, PKKI-X akan dilangsungkan sampai hari Minggu, 16 September 2012.
Hadir dalam PKKI-X ini perwakilan dari Komisi Kateketik (=Komkat) Keuskupan-keuskupan se-Indonesia. Juga hadir perwakilan lembaga-lembaga pendidikan kateketik, baik yang berada di bawah Kementrian Agama maupun Kementrian Pendidikan Nasional. Hadir pula perwakilan dari lembaga-lembaga pendidikan teologi. PKKI-X ini juga dihadiri wakil dari Direktorat Jendral Bimas Katolik Kementrian Agama RI.
Tema yang diangkat dalam PKKI-X ini adalah “Katekese di Era Digital: Peran Imam dan Katekis dalam Karya Pewartaan Gereja Katolik”.

Pembukaan: Misa dan Upacara Pembukaan
Pembukaan PKKI-X dilangsungkan dengan meriah. Koor dan Paduan Suara untuk Misa Pembukaan dari SMA St. Maria I Bandung. Sedangkan tari-tarian dan visualisasi tema dari SMP Slamet Riyadi Kebon Kangkung  Bandung dibawah bimbingan Pa Steph dan Ibu Yunita.
Misa dipimpin oleh Ketua Komkat KWI Mgr. John Liku Ada didampingi oleh RP. FX. Adi Susanto SJ (Sekretaris Eksekutif Komkat KWI), RD. Antonius Sulistijana (Ekonom Keuskupan Bandung), para Penghubung/Ketua Komkat 6 Regio se-Nusantara (Sumatra, Jawa, Bali-Nusa Tenggara, Kalimantan, Manado-Amboina-Makasar, Papua), dan para penghubung lembaga kateketik.
Setelah Misa Pembukaan, acara dilanjutkan dengan Upacara Pembukaan dan berbagai sambutan.

Homili Ketua Komkat Kwi
Ketua Komkat KWI, Mgr. John Liku Ada, mengawali homili dengan mengingatkan peserta yang hadir dalam PKKI-X akan tema yang diangkat dalam Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2010. SAGKI 2010 membicarakan tema Gereja yang diutus untuk mewartakan Kabar Gembira Yesus Kristus dalam konteks Indonesia. Mengisahkan kabar gembira Yesus Kristus salah satunya ditempuh dengan ber-katekese. Maka, Mgr. John mengingatkan bahwa katekese merupakan karya yang penting dan perlu dilaksanakan oleh Gereja.
Mgr. John menunjukkan bahwa karya katekese merupakan tugas utama dan pertama dari para Uskup dan Imam. Beliau mengatakan bahwa hal tersebut merupakan amanat dari Konsili Vatikan II sendiri. Mgr. John merujuk pada Dekrit Christus Dominus (CD) tentang Tugas Pastoral Para Uskup dalam Gereja dan Dekrit Presbyterorum Ordinis (PO) tentang Pelayanan dan Kehidupan Para Imam.
PO art. 4 mengatakan: “…para imam sebagai rekan-rekan kerja para Uskup, pertama-tama wajib mewartakan  Injil Allah kepada semua orang…”.
Mgr. John menunjukkan bahwa dalam PO art. 4-6 dan ditegaskan lagi dalam PO art. 13 urutan tugas pelayanan para imam pertama-tama adalah mewartakan, baru kemudian menguduskan dan menggembalakan.
Dengan berkelakar, Mgr. John mengisahkan apa yang ditemukan dalam pertemuan pleno Komkat KWI bersama para penghubung/Ketua Komkat Regio se-Nusantara yaitu bahwa yang semestinya harus bertobat terlebih dahulu adalah para uskup dan imam. Mgr. John menunjukkan bahwa dalam praktik pelayanan, seringkali para imam terjebak dalam pola pelayanan model Konsili Trente yang menekankan pelayanan kultis dan sakramental. Hal itu ditekankan oleh Konsili Trente sebagai bagian dari gerakan kontra-reformasi.
Namun sekarang, demikian diingatkan Mgr. John, zaman sudah berubah. Kita sekarang hidup dalam pola pelayanan model Konsili Vatikan II yang menegaskan bahwa : “…para imam sebagai rekan-rekan kerja para Uskup, pertama-tama wajib mewartakan  Injil Allah kepada semua orang…
Karena itulah, tegas Mgr. John, sub-tema PKKI-X menyinggung peran Imam dalam karya katekese.
Mgr. John kemudian mengajak peserta melihat situasi zaman sekarang yang memberi tantangan tersendiri bagi Gereja dalam melaksanakan tugas mewarta. Era digital membawa situasi yang berbeda yang harus ditanggapi sehingga Gereja tetap bisa berkatekese dengan baik. Itulah yang perlu dicari dan diolah dalam PKKI-X ini, tegas Mgr. John.

Evaluasi PKKI-IX
Setelah sesi foto bersama dan makan malam, dinamika PKKI-X dilanjutkan dengan perkenalan dan kemudian evaluasi pelaksanaan PKKI-IX. Sesi evaluasi dipandu oleh Bapak Didiek PKKI-IX yang  diadakan di Tomohon, Manado, pada tanggal 17-23 Juni 2008 mengangkat tema “Katekese dalam Masyarakat yang Tertekan dengan pengolahan pada bidang Hukum, Politik dan Kemanusiaan.”
Banyak hal yang dievaluasikan terhadap penerapan hasil PKKI-IX. Hal utama yang dievaluasi adalah lemahnya sosialisasi hasil PKKI-IX. Bahkan ada peserta yang mengatakan bahwa imamnya saja tidak tahu PKKI 1-9 itu berbicara apa.
Hal lain yang dimunculkan berkait dengan rencana tema PKKI-X adalah perlunya katekese model pengajaran iman, tidak melulu katekese model berbagi pengalaman iman, untuk menanggapi keprihatinan akan merosotnya pemahaman iman umat Katolik.
Spiritual di Dunia Maya dan Sesawi.Net
Sesi pemanfaatan dunia komputer dalam katekese diisi oleh budayawan Idi Subandy dan M Haryadi. Bapak Idi memaparkan adanya "agama baru" dalam dunia maya. "Cyber Religion" ini terbentuk sebagai ekspresi spiritualitas di era internet ini. Dunia maya menjadikan ruang virtual sebagai ruang profan yang menjadi "ruang suci". Disini dunia menjadi tempat sensibilitas dan ekspresi religiusitas telah berkembang dan akan selalu berubah dan berkembang.
Sesawi.Net juga merupakan usaha "coba-coba" dari beberapa orang "gila" yang rindu berkumpul sesama ignatian (sesawi). Mereka berkatekese dengan media internet dengan tag line "sahabat dalam berbagi iman". Dalam perjuangannya, ketekunan dan konsisten, mereka tetap eksis lebih dari 15 bulan dengan beberapa guide line seperti mencintai gereja, kritis, tidak berpolitik, informatif. Mereka telah menjadi peringkat pertama media online katolik dengan jumlah pembaca terbanyak.

Pengantar proses PKKI X
Romo FX. Adi Susanto, SJ memulai pertemuan hari ke-2 dengan mengantar para peserta untuk mencermati keseluruhan proses PKKI-X ini yang bertemakan “Katekese di Era Digital: Peran Imam dan Katekis dalam Karya Pewartaan Gereja Katolik”.
Menurut Romo  Adi, digitalisasi merupakan kenyataan hidup manusia modern saat ini. Kita tidak bisa menghindar dari situasi zaman ini. Termasuk juga dalam hal pewartaan iman/katekese. Maka beliau mengatakan bahwa tujuan dari diangkatnya tema tersebut adalah agar para pelaku katekese, baik imam maupun katekis, menyadari berkembangnya sarana komunikasi digital dan pengaruhnya dalam budaya kehidupan masyarakat sehari-hari.
Para pelaku katekese harus memikirkan serta merencanakan katekese yang tepat guna menjawab kebutuhan Gereja Indonesia di era digital sekarang ini.
Diskusi kelompok regional
Sesi diskusi kelompok regional tentang Penggunaan Teknologi Digital untuk Pembinaan Iman di masing-masing keuskupan dihantar dan diarahkan oleh Romo M. Purwatma Pr. Hasil diskusi dalam kelompok regio ini kemudian diplenokan. Dari hasil pleno, Romo. Purwatma Pr selalu tim ahli lalu memberi simpul-simpul atas catatan diskusi:
1. Pengaruh teknologi digital dalam hidup sehari-hari
·         Orang zaman sekarang tidak lepas dari teknologi digital;
·         Disadari bahwa teknologi digital merupakan sarana yang memberi berbagai kemudahan, terutama dalam dunia komunikasi, memperlancar pekerjaan, memperpendek jarak, dll
·         Disadari pula bahwa teknologi digital sungguh mengubah perilaku
2. Penggunaan teknologi digital untuk kepentingan pewartaan, khususnya katekese, di keuskupan
·         Penggunaan media digital untuk pewartaan baru mulai digunakan di keuskupan-keuskupan Indonesia;
·         Ada berbagai cara yang ditempuh setiap keuskupan untuk memanfaatkan media digital bagi karya pewartaan: renungan yang dibagikan kepada umat, radio streaming, HP Keuskupan, dll.
3. Beberapa catatan terkait penggunaan kekuatan digital dalam karya pewartaan:
·         Perlunya pusat data untuk katekese yang mudah diakses untuk umat;
·         Perlunya pembinaan umat sadar media digital. Umat harus dididik untuk memilih dan memilah dalam menggunakan kekuatan teknologi digital secara tepat guna
·         Karakter khas orang di zaman digital adalah multitask (bisa melakukan banyak hal dalam waktu yang bersamaan) namun ingatannya pendek. Maka, orang-orang zaman sekarang memerlukan pertolongan untuk tetap sampai pada kemendalaman.
·         Di tengah era digital, disadari ada banyaknya informasi yang terbuka. Maka orang perlu dibantu agar bisa membedakan mana informasi yang benar dan  mana yang tidak, termasuk juga dalam hal iman.

PEWARTAAN dengan sarana audio-visual, seperti kata Romo Iswarahadi, dapat dilakukan, misalnya:
·         Pertemuan reguler seminggu sekali dalam kesempatan katekese di wilayah/paroki atau kelompok tertentu;
·         Pertemuan periodik dalam kesempatan rekoleksi (orang muda, muda-mudi, kaum religius);
·         Retret audio visual; Penayangan film di bioskop dan siaran program religius lewat televisi, radio dan penayangan renungan-renungan rohani. Bentuk ini dapat ditindaklanjuti dengan perjumpaan darat antara para pemirsa atau pendengar;
·         Pendalaman iman melalui khotbah audio visual di Gereja; \
·         Pewartaan iman melalui media baru (website, youtube, facebook, twitter, email, dll).
Menurut Rm. Iswarahadi, kekuatan audio-visual tersebut akan semakin kentara apabila didukung oleh tempat yang sesuai, sarana teknis yang mencukupi, metode pendalaman program audio-visual yang partisipatif dan fasilitator yang komunikatif.
Di tengah antusiasme dan euforia penggunaan sarana internet dan teknologi digital, Romo C. Putranto SJ  tetap mengingatkan bahwa Gereja pun tak putus-putusnya tetap mengkritisi sisi negatif penggunaan media komunikasi modern. Bukan sarana maupun teknologinya yang salah, melainkan pemanfaatannya, dan ini berakar pada masyarakat yang sakit itu sendiri.
Penyalahgunaan itu berujung pada: dimerosotkannya martabat manusia dan nilai-nilai kehidupan, kekaburan mengenai mana yang benar dan salah, penguasaan komunikasi yang mengarah pada satu tangan atau kelompok kecil, memerosotkan kemampuan kontak manusiawi yang langsung dan elementer, komunikasi menjadi alat penekan, dan promosi ke arah konsumerisme.
Diskusi kelompok dan pleno
Setelah sesi paparan para panelis, Romo M. Purwatma Pr mengantar para peserta PKKI-X untuk masuk dalam kelompok-kelompok diskusi untuk mendiskusikan 3 pertanyaan berikut:
·         Terhadap perkembangan masyarakat yang diwarnai oleh budaya digital tersebut, tanggapan/sikap apa yang dapat dibuat oleh Gereja dalam konteks perutusannya?
·         Apa wujud konkret dari tanggapan tersebut?
·         Bidang-bidang/sasaran-sasaran mana yang harus diprioritaskan?

Audio-visual untuk pewartaan
PKKI hari ke-3 dimulai dengan paparan para panelis tentang penggunaan sarana audio-visual untuk katekese oleh Romo YI. Iswarahadi SJ. Lalu, Romo C. Putranta SJ  melanjutkannya dengan memaparkan ajaran Paus Yohanes Paulus II serta Paus Benediktus XVI tentang pemakaian sarana komunikasi sosial untuk tugas perutusan Gereja.
Romo  C. Putranto mengawali paparannya dengan merujuk pada pengalaman Paulus yang bermimpi ada orang Macedonia melambai-lambai minta tolong. Mimpi itu menggerakkan Paulus yang semula mewarta di daerah Palestina dan Asia kecil saja untuk berani menyeberang mewarta di daerah Yunani dan Eropa. Romo Putranto menyebut langkah kecil ini ternyata merupakan langkah besar dalam perkembangan Kekristenan selanjutnya.
Merujuk pengalaman Paulus, Romo C. Putranto menyebut era digital, terkhusus dunia internet, sebagai benua baru. Ia meyakinkan bahwa kita harus berani menyeberang menuju benua baru tersebut. Keyakinan dan keberanian itu, menurut Romo Putranto, didorong oleh ajaran Paus Yohanes Paulus II dan Paus Benediktus XVI. Dalam keyakinan Rm. Putranto, kedua Paus yang sudah mengalami zaman internet itu seakan mendorong: jangan takut, masukilah benua baru itu.
40 tahun setelah KV II, Gereja mengajak umat beriman untuk tidak takut memanfaatkan internet: Tinggal di belakang akibat ketakutan akan teknologi atau oleh suatu sebab lain merupakan sikap yang tidak dapat diterima, mengingat begitu banyaknya kemungkinan positif yang terkandung dalam internet (2002, Pernyataan Pontifical Commision for Social Communications).
Memasuki benua baru internet, bukan berarti sekedar menggunakan instrumen-instrumen digital, namun juga merasuki budaya baru di benua baru tersebut.
Romo Putranto menyebut adanya dua cara pandang Gereja yang saling melengkapi terhadap alat-alat komunikasi modern.
·         Cara pandang pertama adalah cara pandang instrumentalisasi, yaitu cara pandang yang melihat media komunikasi modern sebagai sarana penting untuk melaksanakan tugas misioner Gereja, yaitu mewartakan Injil.
·         Cara pandangan kedua adalah cara pandang perjumpaan, yaitu cara pandang yang melihat media komunikasi modern sebagai aeropagus baru zaman ini, di mana berlangsung secara nyata evangelisasi budaya-budaya baru. Media komunikasi modern menghasilkan budaya baru, dan ke situlah Injil harus dipertemukan.
Kedua cara pandang yang saling melengkapi tersebut mengajak Umat Beriman untuk ikut aktif bukan hanya menggunakan media komunikasi digital dan internet, namun sekaligus juga berdialog dengannya yaitu dengan aktif mengisinya.
Untuk itu, sebagaimana dituturkan oleh Romo Iswarahadi, kita harus menggali, mengenali dan memahami bahasa-bahasa baru dan cara berkomunikasi baru di benua baru era digital sekarang ini. Menurut Rm. Iswarahadi, permasalahan pokok pewartaan di zaman ini bukanlah alat komunikasi apa yang harus kita pakai  melainkan cara komunikasi macam apakah yang perlu kita pakai agar pewartaan iman mengena bagi umat yang hidup di zaman digital itu.

SETELAH memplenokan hasil diskusi, peserta PKKI-X diajak untuk belajar bahwa film ternyata bisa menjadi media refleksi. Film yang ditampilkan sebagai pembelajaran adalah film Artificial Intelligence.
Sebelum belajar dari film tersebut, Ibu Yap Fu Lan, Dosen Katekese dari Universitas Atmajaya Jakarta, terlebih dahulu memberi pengantar. Baginya, dunia digital menawarkan banyak kemudahan. Namun, orang zaman sekarang justru menjadi takut pada keheningan. Sehingga manusia zaman sekarang tidak tertarik mengambil nilai/pesan, hanya melihat teknologi digital sebagai sarana hiburan. Film sebenarnya juga bisa menjadi media refleksi.
Menurut Ibu Yap Fu Lan, Film Artificial Intelligence merupakan sarana bagi para peserta PKKI-X untuk berhenti sejenak dari proses diskusi, masuk ke dalam keheningan dan menarik maknanya bagi karya katekesenya: media komunikasi sosial digital jangan sampai menghilangkan nilai-nilai manusiawi kita.
Ibu Yap Fu Lan mengisahkan bahwa film Artificial Intelligence ini merupakan film science fiction yang diluncurkan tahun 2001. Film ini  mengangkat kisah dari sebuah novel dan menghubungkannya dengan cerita Pinokio. Film ini menampilkan obsesi David, seorang bocah robotik yang sangat ingin menjadi anak laki-laki sungguhan. Film ini juga menyajikan kontras: robot yang ingin menjadi sangat manusiawi dan manusia yang justru tenggelam oleh ambisi, kedengkian dan perilaku barbar.
Dari film ini, Ibu Yap Fu Lan mengajak para peserta PKKI-X menyadari bahwa kita hidup di era digital sekarang ini cenderung menjadi bagaikan robot.
pribadi orang beriman. Ia mengingatkan bahwa berkatekese bukan sekedar transfer pengetahuan, melainkan untuk mencerdaskan umat beriman dan membentuk perilaku hidup Kristiani mereka.
Dengan kesadaran bahwa kita manusia bukan hanya daging dan mesin, kita harus menghidupkan dimensi spiritual kita. Caranya adalah dengan terlibat sebagai pribadi dan masuk ke dalam keheningan.
Dari film ini, Ibu Yap Fu Lan mengajak para peserta PKKI-X belajar bahwa keinginan menggunakan teknologi tercanggih utnuk pewartaan dan pendidikan iman, khususnya dalam berkatekese, jangan sampai membuat kita lupa akan tujuan katekese untuk mendewasakan iman dan mendewasakan pada pertemuan pleno. Pada  malam hari menjadi kesempatan diskusi pleno.
Selama hari ke-4 PKKI-X ini, peserta diajak menukikkan pembicaraan pada tema yang diangkat PKKI-X, yaitu “Katekese di Era Digital: Peran Imam dan Katekis dalam Karya Katekese Gereja Katolik Indonesia di Era Digital”.
Maka ada 3 hal pokok yang dibicarakan, yaitu:
·         Apa profil katekese Gereja Katolik Indonesia di era digital?;
·         Apa peran katekis dalam katekese di era digital?;
·         Apa peran imam dalam katekese di era digital?
Banyak gagasan yang muncul. Namun kiranya ada alur kesadaran baru bahwa era digital merupakan situasi zaman baru yang membawa perubahan karakteristik-karakteristik budaya, masyarakat dan manusia dibandingkan zaman sebelumnya. Situasi zaman baru era digital itu disadari menantang karya katekese untuk melakukan sesuatu dan tidak berdiam diri: memasukinya dengan tetap besikap kritis-profetis tanpa melupakan hakekat dan tujuan katekese. 
Para peserta PKKI-X masih tetap mengakui pentingnya dan masih relevannya katekese konvensional sebagaimana selama ini berjalan (katekese sakramen-sakramen, katekese umat, pendidikan agama katolik di sekolah, dll). Namun juga para peserta PKKI menyadari bahwa katekese di era digital merupakan pendidikan iman yang menanggapi perubahan zaman.
Para peserta PKKI-X menyadari bahwa katekese di era digital bukan hanya tentang penggunaan sarana di era digital namun mengangkat dan berdialog dengan budaya baru yang muncul di era digital. Katekese di era digital harus juga menggunakan ‘bahasa-bahasa baru’, ‘cara-cara berkomunikasi baru, dan ‘ungkapan-ungkapan baru’ manusia di era digital.
Dalam pembahasan tentang profil katekese di era digital ini, muncul gagasan tentang ‘katekese on-line’. Hal itu bisa dilakukan misal dengan penggunaan media jejaring sosial dan youtube atau skype untuk melakukan katekese on-line.
Pembahasan lebih ‘gayeng’ lagi ketika membahas locus katekese di era digital, komunitas riil dan komunitas virtual. Komunitas virtual seringkali diistilahkan sebagai komunitas maya. Namun saya lebih suka mengistilahkannya sebagai komunitas virtual sebab orang-orang yang terlibat ya sungguh riil, hanya medianya saja yang berbeda dengan media konvensional di komunitas riil konvensional.
Apakah komunitas virtual bisa digolongkan sebagai komunitas gerejawi? Bisakah komunitas virtual ini menjadi locus katekese? Rupanya disadari bahwa memasuki era digital perlu ada dekonstruksi makna konvensional soal komunitas
Dalam katekese di era digital, selain tetap mempertahankan peran konvensionalnya dalam karya katekese, katekis dan imam harus berani maduk juga ke dunia digital dan mewarnainya. Katekis dan imam perlu menguasai media, bahasa dan cara berkomunikasi di era digital; tidak hanya menjadi pengguna internet namun juga memberi kontribusi di media internet. Ia bisa juga menjadi moderator komunitas virtual. Katekis dan imam diharapkan bisa memobilisasi massa di komunitas virtual untuk sampai pada perjumpaan yang nyata dan konkrit.

Yohanes Krisostomus/September’12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar