SENIN sore, 10 September 2012, mulai pukul 17.00, dibukalah Pertemuan
Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia yang sering disingkat sebagai PKKI. Pertemuan
yang diselenggarakan empat tahunan ini merupakan PKKI yang ke-10. Bertempat di Wisma
Shalom, Cisarua, Lembang, Keuskupan Bandung, PKKI-X akan dilangsungkan sampai hari
Minggu, 16 September 2012.
Hadir dalam PKKI-X ini perwakilan dari Komisi Kateketik (=Komkat)
Keuskupan-keuskupan se-Indonesia. Juga hadir perwakilan lembaga-lembaga pendidikan
kateketik, baik yang berada di bawah Kementrian Agama maupun Kementrian Pendidikan
Nasional. Hadir pula perwakilan dari lembaga-lembaga pendidikan teologi. PKKI-X
ini juga dihadiri wakil dari Direktorat Jendral Bimas Katolik Kementrian Agama RI.
Tema yang diangkat dalam PKKI-X ini adalah “Katekese di Era Digital:
Peran Imam dan Katekis dalam Karya Pewartaan Gereja Katolik”.
Pembukaan: Misa dan Upacara Pembukaan
Pembukaan PKKI-X dilangsungkan dengan meriah. Koor dan Paduan Suara
untuk Misa Pembukaan dari SMA St. Maria I Bandung. Sedangkan tari-tarian dan visualisasi
tema dari SMP Slamet Riyadi Kebon Kangkung
Bandung dibawah bimbingan Pa Steph dan Ibu Yunita.
Misa dipimpin oleh Ketua Komkat KWI Mgr. John Liku Ada didampingi
oleh RP. FX. Adi Susanto SJ (Sekretaris Eksekutif Komkat KWI), RD. Antonius Sulistijana
(Ekonom Keuskupan Bandung), para Penghubung/Ketua Komkat 6 Regio se-Nusantara (Sumatra,
Jawa, Bali-Nusa Tenggara, Kalimantan, Manado-Amboina-Makasar, Papua), dan para penghubung
lembaga kateketik.
Setelah Misa Pembukaan, acara dilanjutkan dengan Upacara Pembukaan
dan berbagai sambutan.
Homili Ketua Komkat Kwi
Ketua Komkat KWI, Mgr. John Liku Ada, mengawali homili dengan mengingatkan
peserta yang hadir dalam PKKI-X akan tema yang diangkat dalam Sidang Agung Gereja
Katolik Indonesia (SAGKI) 2010. SAGKI 2010 membicarakan tema Gereja yang diutus
untuk mewartakan Kabar Gembira Yesus Kristus dalam konteks Indonesia. Mengisahkan
kabar gembira Yesus Kristus salah satunya ditempuh dengan ber-katekese. Maka, Mgr.
John mengingatkan bahwa katekese merupakan karya yang penting dan perlu dilaksanakan
oleh Gereja.
Mgr. John menunjukkan bahwa karya katekese merupakan tugas utama
dan pertama dari para Uskup dan Imam. Beliau mengatakan bahwa hal tersebut merupakan
amanat dari Konsili Vatikan II sendiri. Mgr. John merujuk pada Dekrit Christus Dominus
(CD) tentang Tugas Pastoral Para Uskup dalam Gereja dan Dekrit Presbyterorum Ordinis
(PO) tentang Pelayanan dan Kehidupan Para Imam.
PO art. 4 mengatakan: “…para
imam sebagai rekan-rekan kerja para Uskup, pertama-tama wajib mewartakan Injil Allah kepada semua orang…”.
Mgr. John menunjukkan bahwa dalam PO art. 4-6 dan ditegaskan lagi
dalam PO art. 13 urutan tugas pelayanan para imam pertama-tama adalah mewartakan,
baru kemudian menguduskan dan menggembalakan.
Dengan berkelakar, Mgr. John mengisahkan apa yang ditemukan dalam
pertemuan pleno Komkat KWI bersama para penghubung/Ketua Komkat Regio se-Nusantara
yaitu bahwa yang semestinya harus bertobat terlebih dahulu adalah para uskup dan
imam. Mgr. John menunjukkan bahwa dalam praktik pelayanan, seringkali para imam
terjebak dalam pola pelayanan model Konsili Trente yang menekankan pelayanan kultis
dan sakramental. Hal itu ditekankan oleh Konsili Trente sebagai bagian dari gerakan
kontra-reformasi.
Namun sekarang, demikian diingatkan Mgr. John, zaman sudah berubah.
Kita sekarang hidup dalam pola pelayanan model Konsili Vatikan II yang menegaskan
bahwa : “…para imam sebagai rekan-rekan
kerja para Uskup, pertama-tama wajib mewartakan
Injil Allah kepada semua orang…”
Karena itulah, tegas Mgr. John, sub-tema PKKI-X menyinggung peran
Imam dalam karya katekese.
Mgr. John kemudian mengajak peserta melihat situasi zaman sekarang
yang memberi tantangan tersendiri bagi Gereja dalam melaksanakan tugas mewarta.
Era digital membawa situasi yang berbeda yang harus ditanggapi sehingga Gereja tetap
bisa berkatekese dengan baik. Itulah yang perlu dicari dan diolah dalam PKKI-X ini,
tegas Mgr. John.
Evaluasi PKKI-IX
Setelah sesi foto bersama dan makan malam, dinamika PKKI-X dilanjutkan
dengan perkenalan dan kemudian evaluasi pelaksanaan PKKI-IX. Sesi evaluasi dipandu
oleh Bapak Didiek PKKI-IX yang diadakan di
Tomohon, Manado, pada tanggal 17-23 Juni 2008 mengangkat tema “Katekese dalam Masyarakat
yang Tertekan dengan pengolahan pada bidang Hukum, Politik dan Kemanusiaan.”
Banyak hal yang dievaluasikan terhadap penerapan hasil PKKI-IX. Hal
utama yang dievaluasi adalah lemahnya sosialisasi hasil PKKI-IX. Bahkan ada peserta
yang mengatakan bahwa imamnya saja tidak tahu PKKI 1-9 itu berbicara apa.
Hal lain yang dimunculkan berkait dengan rencana tema PKKI-X adalah
perlunya katekese model pengajaran iman, tidak melulu katekese model berbagi pengalaman
iman, untuk menanggapi keprihatinan akan merosotnya pemahaman iman umat Katolik.
Spiritual di Dunia Maya dan Sesawi.Net
Sesi pemanfaatan dunia komputer dalam katekese diisi oleh budayawan
Idi Subandy dan M Haryadi. Bapak Idi memaparkan adanya
"agama baru" dalam dunia maya. "Cyber Religion" ini terbentuk
sebagai ekspresi spiritualitas di era internet ini. Dunia maya menjadikan ruang
virtual sebagai ruang profan yang menjadi "ruang suci". Disini dunia menjadi
tempat sensibilitas dan ekspresi religiusitas telah berkembang dan akan selalu berubah
dan berkembang.
Sesawi.Net juga merupakan usaha "coba-coba" dari beberapa
orang "gila" yang rindu berkumpul sesama ignatian (sesawi). Mereka berkatekese
dengan media internet dengan tag line "sahabat dalam berbagi iman". Dalam
perjuangannya, ketekunan dan konsisten, mereka tetap eksis lebih dari 15 bulan dengan
beberapa guide line seperti mencintai gereja, kritis, tidak berpolitik, informatif.
Mereka telah menjadi peringkat pertama media online katolik dengan jumlah pembaca
terbanyak.
Pengantar proses PKKI X
Romo
FX. Adi Susanto, SJ memulai pertemuan hari ke-2 dengan mengantar para peserta untuk
mencermati keseluruhan proses PKKI-X ini yang bertemakan “Katekese di Era Digital:
Peran Imam dan Katekis dalam Karya Pewartaan Gereja Katolik”.
Menurut
Romo Adi, digitalisasi merupakan kenyataan
hidup manusia modern saat ini. Kita tidak bisa menghindar dari situasi zaman ini.
Termasuk juga dalam hal pewartaan iman/katekese. Maka beliau mengatakan bahwa tujuan
dari diangkatnya tema tersebut adalah agar para pelaku katekese, baik imam maupun
katekis, menyadari berkembangnya sarana komunikasi digital dan pengaruhnya dalam
budaya kehidupan masyarakat sehari-hari.
Para
pelaku katekese harus memikirkan serta merencanakan katekese yang tepat guna menjawab
kebutuhan Gereja Indonesia di era digital sekarang ini.
Diskusi kelompok regional
Sesi
diskusi kelompok regional tentang Penggunaan Teknologi Digital untuk Pembinaan Iman
di masing-masing keuskupan dihantar dan diarahkan oleh Romo M. Purwatma Pr. Hasil
diskusi dalam kelompok regio ini kemudian diplenokan. Dari hasil pleno, Romo. Purwatma
Pr selalu tim ahli lalu memberi simpul-simpul atas catatan diskusi:
1. Pengaruh
teknologi digital dalam hidup sehari-hari
·
Orang
zaman sekarang tidak lepas dari teknologi digital;
·
Disadari
bahwa teknologi digital merupakan sarana yang memberi berbagai kemudahan, terutama
dalam dunia komunikasi, memperlancar pekerjaan, memperpendek jarak, dll
·
Disadari
pula bahwa teknologi digital sungguh mengubah perilaku
2. Penggunaan
teknologi digital untuk kepentingan pewartaan, khususnya katekese, di keuskupan
·
Penggunaan
media digital untuk pewartaan baru mulai digunakan di keuskupan-keuskupan Indonesia;
·
Ada
berbagai cara yang ditempuh setiap keuskupan untuk memanfaatkan media digital bagi
karya pewartaan: renungan yang dibagikan kepada umat, radio streaming, HP Keuskupan,
dll.
3. Beberapa
catatan terkait penggunaan kekuatan digital dalam karya pewartaan:
·
Perlunya
pusat data untuk katekese yang mudah diakses untuk umat;
·
Perlunya
pembinaan umat sadar media digital. Umat harus dididik untuk memilih dan memilah
dalam menggunakan kekuatan teknologi digital secara tepat guna
·
Karakter
khas orang di zaman digital adalah multitask (bisa melakukan banyak hal dalam
waktu yang bersamaan) namun ingatannya pendek. Maka, orang-orang zaman sekarang
memerlukan pertolongan untuk tetap sampai pada kemendalaman.
·
Di
tengah era digital, disadari ada banyaknya informasi yang terbuka. Maka orang perlu
dibantu agar bisa membedakan mana informasi yang benar dan mana yang tidak, termasuk juga dalam hal iman.
PEWARTAAN dengan
sarana audio-visual, seperti kata Romo Iswarahadi, dapat dilakukan, misalnya:
·
Pertemuan
reguler seminggu sekali dalam kesempatan katekese di wilayah/paroki atau kelompok
tertentu;
·
Pertemuan
periodik dalam kesempatan rekoleksi (orang muda, muda-mudi, kaum religius);
·
Retret
audio visual; Penayangan film di bioskop dan siaran program religius lewat televisi,
radio dan penayangan renungan-renungan rohani. Bentuk ini dapat ditindaklanjuti
dengan perjumpaan darat antara para pemirsa atau pendengar;
·
Pendalaman
iman melalui khotbah audio visual di Gereja; \
·
Pewartaan
iman melalui media baru (website, youtube, facebook, twitter, email, dll).
Menurut
Rm. Iswarahadi, kekuatan audio-visual tersebut akan semakin kentara apabila didukung
oleh tempat yang sesuai, sarana teknis yang mencukupi, metode pendalaman program
audio-visual yang partisipatif dan fasilitator yang komunikatif.
Di
tengah antusiasme dan euforia penggunaan sarana internet dan teknologi digital,
Romo C. Putranto SJ tetap mengingatkan bahwa
Gereja pun tak putus-putusnya tetap mengkritisi sisi negatif penggunaan media komunikasi
modern. Bukan sarana maupun teknologinya yang salah, melainkan pemanfaatannya, dan
ini berakar pada masyarakat yang sakit itu sendiri.
Penyalahgunaan
itu berujung pada: dimerosotkannya martabat manusia dan nilai-nilai kehidupan, kekaburan
mengenai mana yang benar dan salah, penguasaan komunikasi yang mengarah pada satu
tangan atau kelompok kecil, memerosotkan kemampuan kontak manusiawi yang langsung
dan elementer, komunikasi menjadi alat penekan, dan promosi ke arah konsumerisme.
Diskusi kelompok dan pleno
Setelah
sesi paparan para panelis, Romo M. Purwatma Pr mengantar para peserta PKKI-X untuk
masuk dalam kelompok-kelompok diskusi untuk mendiskusikan 3 pertanyaan berikut:
·
Terhadap
perkembangan masyarakat yang diwarnai oleh budaya digital tersebut, tanggapan/sikap
apa yang dapat dibuat oleh Gereja dalam konteks perutusannya?
·
Apa
wujud konkret dari tanggapan tersebut?
·
Bidang-bidang/sasaran-sasaran
mana yang harus diprioritaskan?
Audio-visual untuk pewartaan
PKKI
hari ke-3 dimulai dengan paparan para panelis tentang penggunaan sarana audio-visual
untuk katekese oleh Romo YI. Iswarahadi SJ. Lalu, Romo C. Putranta SJ melanjutkannya dengan memaparkan ajaran Paus Yohanes
Paulus II serta Paus Benediktus XVI tentang pemakaian sarana komunikasi sosial untuk
tugas perutusan Gereja.
Romo C. Putranto mengawali paparannya dengan merujuk
pada pengalaman Paulus yang bermimpi ada orang Macedonia melambai-lambai minta tolong.
Mimpi itu menggerakkan Paulus yang semula mewarta di daerah Palestina dan Asia kecil
saja untuk berani menyeberang mewarta di daerah Yunani dan Eropa. Romo Putranto
menyebut langkah kecil ini ternyata merupakan langkah besar dalam perkembangan Kekristenan
selanjutnya.
Merujuk
pengalaman Paulus, Romo C. Putranto menyebut era digital, terkhusus dunia internet,
sebagai benua baru. Ia meyakinkan bahwa kita harus berani menyeberang menuju benua
baru tersebut. Keyakinan dan keberanian itu, menurut Romo Putranto, didorong oleh
ajaran Paus Yohanes Paulus II dan Paus Benediktus XVI. Dalam keyakinan Rm. Putranto,
kedua Paus yang sudah mengalami zaman internet itu seakan mendorong: jangan takut,
masukilah benua baru itu.
40
tahun setelah KV II, Gereja mengajak umat beriman untuk tidak takut memanfaatkan
internet: Tinggal di belakang akibat ketakutan akan teknologi atau oleh suatu
sebab lain merupakan sikap yang tidak dapat diterima, mengingat begitu banyaknya
kemungkinan positif yang terkandung dalam internet (2002, Pernyataan Pontifical
Commision for Social Communications).
Memasuki
benua baru internet, bukan berarti sekedar menggunakan instrumen-instrumen digital,
namun juga merasuki budaya baru di benua baru tersebut.
Romo
Putranto menyebut adanya dua cara pandang Gereja yang saling melengkapi terhadap
alat-alat komunikasi modern.
·
Cara
pandang pertama adalah cara pandang instrumentalisasi, yaitu cara pandang yang melihat
media komunikasi modern sebagai sarana penting untuk melaksanakan tugas misioner
Gereja, yaitu mewartakan Injil.
·
Cara
pandangan kedua adalah cara pandang perjumpaan, yaitu cara pandang yang melihat
media komunikasi modern sebagai aeropagus baru zaman ini, di mana berlangsung secara
nyata evangelisasi budaya-budaya baru. Media komunikasi modern menghasilkan budaya
baru, dan ke situlah Injil harus dipertemukan.
Kedua
cara pandang yang saling melengkapi tersebut mengajak Umat Beriman untuk ikut aktif
bukan hanya menggunakan media komunikasi digital dan internet, namun sekaligus juga
berdialog dengannya yaitu dengan aktif mengisinya.
Untuk
itu, sebagaimana dituturkan oleh Romo Iswarahadi, kita harus menggali, mengenali
dan memahami bahasa-bahasa baru dan cara berkomunikasi baru di benua baru era digital
sekarang ini. Menurut Rm. Iswarahadi, permasalahan pokok pewartaan di zaman ini
bukanlah alat komunikasi apa yang harus kita pakai melainkan cara komunikasi macam apakah yang perlu
kita pakai agar pewartaan iman mengena bagi umat yang hidup di zaman digital itu.
SETELAH memplenokan
hasil diskusi, peserta PKKI-X diajak untuk belajar bahwa film ternyata bisa menjadi
media refleksi. Film yang ditampilkan sebagai pembelajaran adalah film Artificial
Intelligence.
Sebelum belajar dari film tersebut, Ibu Yap Fu Lan, Dosen Katekese
dari Universitas Atmajaya Jakarta, terlebih dahulu memberi pengantar. Baginya, dunia
digital menawarkan banyak kemudahan. Namun, orang zaman sekarang justru menjadi
takut pada keheningan. Sehingga manusia zaman sekarang tidak tertarik mengambil
nilai/pesan, hanya melihat teknologi digital sebagai sarana hiburan. Film sebenarnya
juga bisa menjadi media refleksi.
Menurut Ibu Yap Fu Lan, Film Artificial Intelligence merupakan sarana bagi para peserta PKKI-X
untuk berhenti sejenak dari proses diskusi, masuk ke dalam keheningan dan menarik
maknanya bagi karya katekesenya: media komunikasi sosial digital jangan sampai menghilangkan
nilai-nilai manusiawi kita.
Ibu Yap Fu Lan mengisahkan bahwa film Artificial Intelligence ini merupakan film science
fiction yang diluncurkan tahun
2001. Film ini mengangkat kisah dari sebuah
novel dan menghubungkannya dengan cerita Pinokio. Film ini menampilkan obsesi David,
seorang bocah robotik yang sangat ingin menjadi anak laki-laki sungguhan. Film ini
juga menyajikan kontras: robot yang ingin menjadi sangat manusiawi dan manusia yang
justru tenggelam oleh ambisi, kedengkian dan perilaku barbar.
Dari film ini, Ibu Yap Fu Lan mengajak para peserta PKKI-X menyadari
bahwa kita hidup di era digital sekarang ini cenderung menjadi bagaikan robot.
pribadi orang beriman. Ia mengingatkan bahwa berkatekese bukan sekedar
transfer pengetahuan, melainkan untuk mencerdaskan umat beriman dan membentuk perilaku
hidup Kristiani mereka.
Dengan kesadaran bahwa kita manusia bukan hanya daging dan mesin,
kita harus menghidupkan dimensi spiritual kita. Caranya adalah dengan terlibat sebagai
pribadi dan masuk ke dalam keheningan.
Dari film ini, Ibu Yap Fu Lan mengajak para peserta PKKI-X belajar
bahwa keinginan menggunakan teknologi tercanggih utnuk pewartaan dan pendidikan
iman, khususnya dalam berkatekese, jangan sampai membuat kita lupa akan tujuan katekese
untuk mendewasakan iman dan mendewasakan pada
pertemuan pleno. Pada malam hari menjadi
kesempatan diskusi pleno.
Selama
hari ke-4 PKKI-X ini, peserta diajak menukikkan pembicaraan pada tema yang diangkat
PKKI-X, yaitu “Katekese di Era Digital: Peran Imam dan Katekis dalam Karya Katekese
Gereja Katolik Indonesia di Era Digital”.
Maka
ada 3 hal pokok yang dibicarakan, yaitu:
·
Apa
profil katekese Gereja Katolik Indonesia di era digital?;
·
Apa
peran katekis dalam katekese di era digital?;
·
Apa
peran imam dalam katekese di era digital?
Banyak
gagasan yang muncul. Namun kiranya ada alur kesadaran baru bahwa era digital merupakan
situasi zaman baru yang membawa perubahan karakteristik-karakteristik budaya, masyarakat
dan manusia dibandingkan zaman sebelumnya. Situasi zaman baru era digital itu disadari
menantang karya katekese untuk melakukan sesuatu dan tidak berdiam diri: memasukinya
dengan tetap besikap kritis-profetis tanpa melupakan hakekat dan tujuan katekese.
Para
peserta PKKI-X masih tetap mengakui pentingnya dan masih relevannya katekese konvensional
sebagaimana selama ini berjalan (katekese sakramen-sakramen, katekese umat, pendidikan
agama katolik di sekolah, dll). Namun juga para peserta PKKI menyadari bahwa katekese
di era digital merupakan pendidikan iman yang menanggapi perubahan zaman.
Para
peserta PKKI-X menyadari bahwa katekese di era digital bukan hanya tentang penggunaan
sarana di era digital namun mengangkat dan berdialog dengan budaya baru yang muncul
di era digital. Katekese di era digital harus juga menggunakan ‘bahasa-bahasa baru’,
‘cara-cara berkomunikasi baru, dan ‘ungkapan-ungkapan baru’ manusia di era digital.
Dalam
pembahasan tentang profil katekese di era digital ini, muncul gagasan tentang ‘katekese
on-line’. Hal itu bisa dilakukan misal dengan penggunaan media jejaring sosial dan
youtube atau skype untuk melakukan katekese on-line.
Pembahasan
lebih ‘gayeng’ lagi ketika membahas locus katekese di era digital, komunitas
riil dan komunitas virtual. Komunitas virtual seringkali diistilahkan sebagai komunitas
maya. Namun saya lebih suka mengistilahkannya sebagai komunitas virtual sebab orang-orang
yang terlibat ya sungguh riil, hanya medianya saja yang berbeda dengan media konvensional
di komunitas riil konvensional.
Apakah
komunitas virtual bisa digolongkan sebagai komunitas gerejawi? Bisakah komunitas
virtual ini menjadi locus katekese? Rupanya disadari bahwa memasuki era digital
perlu ada dekonstruksi makna konvensional soal komunitas
Dalam
katekese di era digital, selain tetap mempertahankan peran konvensionalnya dalam
karya katekese, katekis dan imam harus berani maduk juga ke dunia digital dan mewarnainya.
Katekis dan imam perlu menguasai media, bahasa dan cara berkomunikasi di era digital;
tidak hanya menjadi pengguna internet namun juga memberi kontribusi di media internet.
Ia bisa juga menjadi moderator komunitas virtual. Katekis dan imam diharapkan bisa
memobilisasi massa di komunitas virtual untuk sampai pada perjumpaan yang nyata
dan konkrit.
Yohanes Krisostomus/September’12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar