Jumat, 05 Oktober 2018

Bulu Kemoceng

Seorang murid meminta maaf kepada gurunyayang telah difitnahnya. Sang guru hanya terseyum. “Apa kau serius?” tanya sang guru. “Saya serius, Guru, Saya benar-benar ingin menebus kesalahan saya.” Sang Guru terdiam sejenak. Lalu ia bertanya, “Apakah kamu punya sebuah kemoceng di kamarmu?” “Ya, saya punya sebuah kemoceng Guru. Apa yang harus saya lakukan dengan kemoceng itu?” “Besok pagi, berjalanlah dari kamarmu ke pondokku. Berkelilinglah lapangan sambil mencabuti bulu-bulu dari kemoceng itu. Setiap kali kamu mencabut sehelai bulu, ingat-ingat perkataan burukmu tentang aku, lalu jatuhkan di jalanan yang kamu lalui. Kamu akan belajar sesuatu darinya.” Keesokan harinya, sang murid menemui Guru dengan sebuah kemoceng yang sudah tak memiliki sehelai bulu pun pada gagangnya. Ia segera menyerahkan gagang kemoceng itu pada Sang Guru. “Ini, Guru, bulu-bulu kemoceng ini sudah saya jatuhkan satu per satu sepanjang perjalanan. Saya berjalan lebih dari tiga kilo dari kamar saya ke pondok ini. Saya mengingat semua perkataan buruk saya tentang Guru. Maafkan saya, Guru.” Sang Guru terdiam sejenak, lalu berkata, “Kini pulanglah. Pulanglah dengan kembali berjalan kaki dan menempuh jalan yang sama dengan saat kamu menuju pondokku. Di sepanjang jalan kepulanganmu, pungutlah kembali bulu-bulu kemoceng yang tadi kau cabuti satu per satu. Esok hari, laporkan kepadaku berapa banyak bulu yang bisa kamu kumpulkan.” Sepanjang perjalanan pulang, sang murid berusaha menemukan bulu-bulu kemoceng yang tadi dilepaskan di sepanjang jalan. Hari yang terik. Perjalanan yang melelahkan. Betapa sulit menemukan bulu-bulu itu. Mereka tentu saja telah tertiup angin, atau menempel di bangunan-bangunan perguruan ini.Atau tersapu ke tempat yang kini tak mungkin ia ketahui. Sang murid terus berjalan. Setelah berjam-jam, ia berdiri di depan kamarnya dengan pakaian yang dibasahi keringat. Nafasnya terasa berat. Tenggorokannya kering. Hanya ada lima helai bulu kemoceng yang berhasil ditemukan di sepanjang perjalanan. Hari berikutnya sang murid menemui Sang Guru dengan wajah yang murung. "Guru, hanya ini yang berhasil saya temukan.” Disodorkannya lima bulu kemoceng ke hadapan sang Guru. "Kini kamu telah belajar sesuatu,” kata sang Guru. “Apa yang telah aku pelajari, Guru?” “Tentang fitnah-fitnah itu,” jawab Sang Guru. “Bulu-bulu yang kamu cabuti dan kamu jatuhkan sepanjang perjalanan adalah fitnah-fitnah yang kamu sebarkan. Meskipun kamu benar-benar menyesali perbuatanmu dan berusaha memperbaikinya, fitnah-fitnah itu telah menjadi bulu-bulu yang beterbangan entah kemana. Bulu-bulu itu adalah kata-katamu. Mereka dibawa angin waktu ke mana saja, ke berbagai tempat yang tak mungkin bisa kamu duga-duga, ke berbagai wilayah yang tak mungkin bisa kamu hitung! “Bayangkan salah satu dari fitnah-fitnah itu suatu saat kembali pada dirimu sendiri. Barangkali kamu akan berusaha meluruskannya, karena kamu benar-benar merasa bersalah telah menyakiti orang lain dengan kata-katamu itu. Barangkali kamu tak ingin mendengarnya lagi. “Tetapi kamu tak bisa menghentikan semua itu! Kata-katamu yang telah terlanjur tersebar dan terus disebarkan di luar kendalimu, tak bisa kamu bungkus lagi dalam sebuah kotak besi untuk kamu kubur dalam-dalam sehingga tak ada orang lain lagi yang mendengarnya. Angin waktu telah mengabadikannya." “Fitnah-fitnah itu telah menjadi dosa yang terus beranak-pinak tak ada ujungnya. Meskipun aku atau siapa pun saja yang kamu fitnah telah memaafkanmu sepenuh hati, fitnah-fitnah itu terus mengalir hingga kau tak bisa membayangkan ujung dari semuanya. “Bahkan meskipun kau telah meninggal dunia, fitnah-fitnah itu terus hidup karena angin waktu telah membuatnya abadi. Maka kamu tak bisa menghitung lagi berapa banyak fitnah-fitnah itu telah memberatkan timbangan keburukanmu kelak.”

PELACUR DAN ROHANIWAN

Seorang rohaniwan yang sudah terkenal super sibuk dengan pengikut melebihi angka satu juta mendapat laporan dari salah seorang muridnya. "Guru, persis di depan rumah Guru, rumah kosong itu sekarang dikontrak seorang wanita yang tidak bersuami. Ia janda dan setiap sore ia menerima tamu. Ada yang datang berkendaraan Audi, ada yang menggunakan Mercedes, ada yang memakai BMW. Wanita itu pasti seorang pelacur, seorang tunasusila. Guru kenapa tidak mengundang, menasehati, supaya sadar. Bukankah perzinahan itu diharamkan oleh agama?" Sang Guru menganggap laporan itu sebagai suatu tantangan. Ia harus menyadarkan pelacur itu. Ia tidak mempersoalkan kekonyolan muridnya yang selama ini lebih memperhatikan para pengunjung pelacur daripada pelajarannya. Si pelacur dipanggil. Sambil mengucapkan salam, ia memasuki ruangan Guru. "Maafkan saya, Guru, saya seorang yang berdosa. Itu sebabnya sebelum ini saya tidak pernah datang ke tempat Guru." "Aku sudah tahu semuanya tentang dirimu. Rupanya kau sadar pula bahwasanya apa yang kau lakukan itu dosa. Lantas kenapa kau melakukannya?" tanya sang Guru. "Maafkan saya sekali lagi, Guru. Saya orang desa, tidak berpendidikan tinggi. Datang ke kota ini karena janji akan diberi pekerjaan. Adik-adikku di kampung dalam keadaan susah. Ayah telah menceraikan ibuku yang sekarang ini sedang sakit-sakitan. Jadi, terpaksa saya ke kota. Ternyata saya ditipu oleh mafia di kota ini, dan saya terdampar dalam dunia gelap," wanita tadi menjelaskan latar belakangnya dan menangis. "Sudahlah, nah sekarang carilah pekerjaan yang baik. Tinggalkan pekerjaanmu yang jelek itu." - demikian nasehat sang Guru. "Baik Guru, terima kasih atas nasehatnya," sambil mengucapkan salam, wanita yang dianggap "tunasusila" itu pamit pulang. Beberapa hari berikutnya, cuaca cukup cerah. Namun tidak berlangsung lama, pada suatu sore sang murid mengeluh lagi. "Guru, wanita itu belum sadar-sadar juga. Ia masih menerima tamu." Sang Guru dengan berang berkata, "Panggil dia kemari. Biar Guru menasehatinya lagi." Kali ini wanita tunasusila itu datang dengan mata merah, bengkak, sepertinya baru menangis. Rupanya sebelum disuruh menghadap sang Guru, si murid tadi sudah menegurnya. "Belum sadar juga kau rupanya?" Sang Guru sudah tidak bisa menahan amarahnya. "Kamu sudah dikuasai setan." "Guru, apa yang harus saya lakukan? Selama seminggu saya tidak menerima tamu. Saya bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Di situ saya diperkosa oleh majikan saya. Padahal dia juga seorang rohaniwan, Guru juga pasti kenal dia. Saya pikir kalau memang demikian, lebih baik sekalian saja saya menjual diri, sudah ketahuan akan dibayar cukup, masih bisa mengirim uang ke kampung," kata wanita itu menangisi nasibnya. "Salah kamu juga. Kau pasti pakai pakaian yang tidak sopan, merangsang majikanmu. Padahal majikanmu itu kan teman baik saya. Kalau kamu pakai pakaian yang begitu merangsang, siapa saja akan tergoda. Itulah kesalahan kamu," sang Guru malah membela majikan sang wanita. Wanita tunasusila itu baru sadar, betapa tunasusilanya masyarakat. "Aneh, kalau para pria merasa terangsang, apa tidak sebaiknya mereka yang harus menggunakan tutup mata? Apa salahnya wanita? Dan kalau seorang rohaniwan saja masih tidak dapat mengendalikan dirinya, lantas apa gunanya dia menjalani kehidupan suci?" "Kau betul-betul sudah dipengaruhi oleh setan. Yang berbicara itu setan. Wanita memang sudah dikodratkan untuk tunduk dan patuh pada kaum pria. Tidak ada harapan lagi bagi kamu, pergilah dari sini," kata sang Guru dengan sangat marah. Sekarang bukan hanya sang murid saja yang memperhatikan pintu rumah wanita tunasusila itu, sang Guru pun mulai memperhatikan siapa saja yang mengunjunginya, jam berapa saja. Setiap kali ada yang mengunjungi rumah itu, sang Guru mengambil satu batu kerikil dan meletakkan di atas meja sudut. Dalam satu bulan saja tumpukannya sudah cukup lumayan, mungkin 90-an batu. Melihat tumpukan itu, menghitung dosa-dosa wanita tunasusila itu, sang Guru sudah tidak dapat menahan diri lagi. Sekali lagi, ia mengirimkan utusan untuk memanggilnya. "Lihatlah tumpukan batu kerikil itu, semua itu dosa-dosamu." Si pelacur tetap membisu, air mata mengalir terus, membasahi pipinya. Tanpa pamit, ia langsung pulang. Beberapa hari kemudian, sang Guru yang memang sudah tua itu meninggal dunia. Ia didatangi oleh malaikat berseragam hitam. Roh sang Guru berang. "Eh, kalian salah, yang menjemput saya seharusnya Utusan dari Surga. Mereka berseragam putih. Demikianlah yang saya baca dalam buku-buku suci selama ini." "Memang kami dari Neraka, tetapi tidak salah. Dalam surat perintah yang diberikan kepada kami, memang nama Anda yang tercantum." Utusan Neraka menunjukkan surat perintahnya. Roh Guru memeriksa keabsahan surat itu, capnya juga sudah benar. Persis demikian menurut kitab-kitab yang dia pelajari selama ini. Tetapi kenapa harus Utusan Neraka yang menjemput dia? Ia menoleh ke bawah, jasadnya dikerumuni oleh massa, sesaat lagi ia akan dikuburkan. Para murid mengelilingi jasadnya sambil membacakan doa-doa. "Lihatlah, lihatlah mereka begitu menghormati jasadku. Kau salah. Seharusnya aku dijemput oleh Utusan Surga yang berseragam putih." Utusan Neraka melihat ke bawah. Benar juga, memang jasad sang Guru dihormati. Ia pun berpikir kembali, mungkin dia salah. Mungkin terjadi kesalahan teknis. Sambil mengeluarkan telepon genggamnya, Utusan Neraka memohon kesabaran kliennya itu. "Ternyata tidak salah, memang kau yang harus ke Neraka," - setelah bicara dengan Manajer Perusahaan Tak Terbatas tadi, Utusan Neraka menjelaskan kepada roh sang Guru. "Wah ini kolusi, korupsi, di Neraka dan Surga rupanya ada sistem nepotisme, harus ada reformasi. Tunggu dulu, kalau saya ke sana, saya akan melakukan reformasi besar-besaran. Dan kau, Utusan Neraka, kau sudah bisa menghitung hari-harimu. Sebentar lagi akan kena PHK. Saya akan melaporkan hal ini kepada Tuhan," roh sang Guru sudah tidak dapat menahan diri lagi. Sebenarnya Utusan Neraka pun sudah bingung. Di mana kesalahannya? Sementara roh sang Guru masih mencaci-maki dia. Tiba-tiba, eh itu apa lagi, lihat di sana itu, ada Utusan Surga berseragam putih: "Sedang ke mana dia?" roh sang Guru bertanya. "Panggil dia, dia pasti sedang menjemput saya. Coba lihat surat perintahnya." Utusan Neraka menggunakan HP-nya, untuk menghubungi Utusan Surga. "Kawan, kau mau ke mana? "Ah, kawan, aku sedang menjemput seorang wanita nih." jawab Utusan Surga. "Wanita yang mana?" tanya Utusan Neraka. "Wanita tunasusila katanya." Utusan Surga menjelaskan. "Tidak salah kau, sahabatku? Rupanya surat perintah kita tertukar. Saya justru disuruh menjemput Guru. Dia lagi marah-marah. Tinggalnya di mana wanita itu?" tanya Utusan Neraka yang merasa penasaran. "Wah harus di cek ulang nih, rupanya wanita itu tinggal persis di depan rumah Guru yang kau jemput itu?" Utusan Surga tak kalah terkejut. "Kalau begitu, ya kau jemput saja wanita itu, dan kita bertemu di Lobby Wisma Surga-Neraka. Saya juga ke sana dengan roh Guru yang saya jemput." Utusan Neraka memberi solusi. "Lihat itu, betul kan, kalian sudah tidak becus mengurus semuanya ini. Sudah terlalu lama tidak terjadi pembaharuan. Harus dilakukan reformasi. Tunggu saja kalian, nanti kalau murid-murid saya mati, saya akan ajak roh-roh mereka berdemonstrasi. Kalian harus mengundurkan diri. Salah melulu-salah melulu. Seorang Guru dibawa ke Neraka, seorang pelacur dibawa ke Surga." Roh Guru mendapat angin segar, harapan baru. Tiba di Lobby Wisma Surga-Neraka, roh Guru menghindari kontak mata dengan roh sang Pelacur yang menyalaminya. "Guru, tadi aku mendengar pembicaraan Utusan Surga yang menjemput aku, dengan Utusan Neraka yang menjemput Guru. Aku sudah tahu, pasti terjadi kesalahan. Maafkan aku. Setelah mati pun aku masih menyusahkan Guru." "Sudah-sudah, cukup, tidak usah bertele-tele. Bukankah dari dulu sudah aku katakan, kau sudah kena hasutan setan, memang nerekalah tempat yang paling tepat bagi kamu." Roh Guru memang sudah kesal. Sementara para penjemput mereka sibuk memeriksa data-data komputer di ruang atas, mereka dipersilahkan menunggu di Lobby. Sang Guru, karena statusnya masih "klien neraka", disuguhi air putih. Sang Pelacur, yang statusnya"klien surga", disuguhi orange-juice. Sang Pelacur merasa malu, ia menawarkan juice itu kepada sang Guru. "Sudah-sudah, kau saja yang minum. Sebentar lagi juga kau menjadi penghuni Neraka, di sana minum air putih terus, sampai kembung perutmu. Sekarang minum saja juice itu, kau tidak akan mendapatkan juice lagi, sampai hari kiamat," sang Guru tidak dapat menutupi rasa kecewanya. Aneh sekali, tetapi ternyata tidak ada kesalahan data. Memang roh sang Guru harus masuk Neraka dan roh Pelacur harus masuk Surga. Print-out komputer menjelaskan: "Sepanjang hidupnya, Guru yang dimaksudkan, selalu menghitung dosa-dosa orang lain. Ia selalu memikirkan kesalahan orang lain. Pikiran dia kacau. Penuh dengan kebencian, tidak pernah tenang, sehingga roh dia harus menjalani proses pembersihan di Neraka. Sementara itu, karena mulut dia merupakan bagian dari fisiknya, dari badan kasatnya, banyak juga membicarakan tentang hal-hal yang baik, maka badan kasatnya dihormati orang banyak, dan jasadnya dikuburkan dengan upacara penuh khidmat. Tetapi rohnya harus ke Neraka. Sebaliknya, sang Pelacur memang melacurkan badannya. Itu sebabnya tidak ada yang mengurusi jasadnya. Mungkin mayatnya akan menjadi makanan anjing-anjing jalanan. Tetapi, pikiran dia selalu bersih. Ia selalu menyesali perbuatannya sehingga rohnya layak menghuni Surga."