Jumat, 10 Juli 2015

Kesempatan ke2 tidak terduga

Moore adalah seorang dokter terkenal dan dihormati di sebuah kota tua di Prancis, melalui tangannya sudah tak terhitung nyawa yang diselamatkan. Namun, Moore dulunya bukan sosok penolong yang membanggakan seperti sekarang. 20 tahun yang lalu Moore adalah seorang narapidana. Kekasihnya mengkhianati dia dan lari kepelukan lelaki lain. Karena emosinya, dia melukai lelaki tersebut, maka Moore beralih dari seorang mahasiswa di universitas terkenal menjadi seorang narapidana. Dia dipenjara selama 3 tahun.
Setelah bebas dari penjara, karena statusnya sebagai bekas narapidana menyebabkan Moore menjadi bahan ejekan dan penghinaan saat melamar pekerjaan. Dalam keadaan sakit hati, Moore memutuskan akan menjadi perampok. Dia telah mengincar di bagian selatan kota dimana ada sebuah rumah yang akan menjadi sasarannya. Para orang dewasa dirumah tersebut semuanya pergi bekerja, larut malam baru pulang kerumah. Di dalam rumah hanya ada seorang anak kecil buta yang tinggal sendirian. Moore pergi ke rumah tersebut, mencongkel pintu utama dengan membawa pisau belati.
Saat Moore masuk ke dalam rumah, sebuah suara lembut bertanya, “Siapa itu?” Moore sembarangan menjawab, “Saya teman papamu, dia memberikan kunci rumah padaku.”
Suara lembut yang ternyata adalah si anak kecil buta terdengar sangat gembira dan tanpa curiga si anak buta berkata, “Selamat datang! Namaku Kay, tetapi papaku malam baru sampai ke rumah. Apa paman mau bermain sebentar denganku?” Dia memandang dengan mata yang besar dan terang tetapi tidak melihat apapun, dengan wajah penuh harapan, di bawah tatapan memohon yang tulus. Moore langsung lupa dengan tujuannya dan langsung menyetujui.
Yang membuat Moore sangat terheran-heran adalah anak yang berumur 8 tahun dan buta ini dapat bermain piano dengan lancar, lagu-lagu yang dimainkannya sangat indah dan gembira, walaupun bagi seorang anak normal harus melakukan upaya besar sampai ke tingkat seperti anak buta ini. Setelah selesai bermain piano, Kay melukis sebuah lukisan yang dapat dirasakan di dalam dunia anak buta ini, seperti matahari, bunga, ayah-ibu, teman-teman. Dunia Kay rupanya tidak sekosong kedua bola matanya, walaupun lukisannya kelihatannya sangat canggung, yang bulat dan persegi tidak dapat dibedakan, tetapi dia melukis dengan sangat serius dan tulus.
“Paman, apakah matahari seperti ini?” tanya Kay.
Moore melukis di telapak tangan anak ini beberapa bulatan, “Matahari bentuknya bulat dan terang dan warnanya keemasan.”
Kay mendongakkan wajahnya yang mungil bertanya, “Paman, apa warna keemasan itu?”
Moore terdiam sejenak, lalu membawanya ketempat terik matahari, “Emas adalah sebuah warna yang sangat vitalitas, bisa membuat orang merasa hangat, sama seperti kita memakan roti yang bisa memberi kita kekuatan.”
Kay dengan gembira meraba ke empat penjuru dengan kedua tangannya, “Paman, aku sudah merasakannya, sangat hangat! Dia pasti akan sama dengan warna senyuman paman!”
Moore tiba-tiba merasa sangat terharu, lalu dia dengan penuh kesabaran menjelaskan kepada Kay berbagai warna dan bentuk barang. Dia sengaja menggambarkan dengan hidup, sehingga anak yang penuh imajinatif ini mudah mengerti. Anak buta ini mendengar ceritanya dengan sangat serius, walaupun dia buta, tetapi rasa sentuh dan pendengaran anak ini lebih tajam dan kuat daripada anak normal, tanpa terasa waktu berlalu dengan cepat.
Akhirnya, Moore teringat tujuan kedatangannya, tetapi Moore tidak mungkin lagi merampok. Hanya karena kecaman dan ejekan dari masyarakat dia nyaris melakukan kejahatan lagi, dia menyesal. Berdiri di hadapan Kay membuat Moore merasa sangat malu, lalu dia menulis sebuah catatan untuk orang tua Kay, “Tuan dan nyonya yang terhormat, maafkan saya mencongkel pintu rumah kalian. Kalian adalah orang tua yang hebat, dapat mendidik anak yang demikian baik. Walaupun matanya buta, tetapi hatinya sangat terang. Dia mengajarkan kepada saya banyak hal dan membuka pintu hati saya.”
Tiga tahun kemudian, Moore menyelesaikan kuliahnya di universitas kedokteran dan memulai karirnya sebagai seorang dokter. Enam tahun kemudian, dia dan rekan-rekannya mengoperasi mata Kay sehingga Kay bisa melihat keindahan dunia ini.
Kay yang dapat melihat menjadi seorang pianis terkenal, mengadakan konser ke seluruh dunia. Setiap mengadakan konser, Moore akan berusaha menghadirinya, duduk disebuah sudut yang tidak mencolok, mendengarkan alunan musik indah nan ceria menyirami jiwanya dengan optimisme dan semangat juang, yang dimainkan oleh seorang pianis yang dulunya buta. Pianis yang melihat keindahan dunia melalui kedua matanya yang tak mengenal cahaya. Pianis yang memberinya kesempatan ke-2 untuk hatinya yang terluka.
Dengan segala kepolosan anak kecil buta yang bahkan tak bisa membedakan penjahat dan teman ayahnya, Moore kembali melihat dunia. Bukan dengan kedua bola mata fisiknya, melainkan dengan mata hati sehangat mentari yang menyinari kehidupan banyak orang.

Anak dan polisi tidur

Bangun pagi dan pergi ke kantor adalah kegiatan rutinitas yang cukup membosankan. Namun daripada membuang-buang waktu, biasanya saya menggunakannya untuk memikirkan banyak hal yang biasanya membuat saya sampai ke kantor saya tanpa terasa lama.

Ada hal yang unik di pagi ini yang membuat saya tidak bisa berhenti berpikir. Pagi ini saya melewati jalan yang sudah biasa saya lewati untuk menuju tempat kerja. Di sana ada seorang anak kecil sedang belajar sepeda, dan ketika melewati polisi tidur yang ada di depannya… dia terjatuh.

Dia langsung berusaha secepat mungkin berdiri lagi tanpa menunjukkan tanda-tanda kesakitan sekalipun terbentuk jalan aspal yang tajam, lalu segera membenarkan posisi sepeda kecilnya.

“Wow!” saya tidak sadar mengeluarkan kata itu, lalu meminggirkan sepeda motor, berpura-pura menunggu orang hanya agar bisa terus memperhatikan anak ini.

Ia mendorong sepedanya melewati polisi tidur itu lalu berbalik arah untuk kembali menantang polisi tidur yang tadi ‘mengalahkannya.’ Sang anak mengayuh sepedanya dengan mantap. Kali ini dia berhasil melewatinya, namun sedikit kurang stabil dan hampir terjatuh sekalipun masih bisa ditahan oleh kakinya sendiri

Tak lama kemudian seorang kakak perempuan menghampirinya. Sang anak meminta kakaknya untuk mengajarkan cara terbaik untuk mengayuh melewati polisi tidur.

Setelah itu, saya melanjutkan perjalanan ke kantor sembari berpikir. Kata-kata pertama yang melintas di pikiran saya adalah, “Anak kecil tadi lebih hebat dari kebanyakan orang besar.” Saya sengaja menggunakan kata ‘orang besar’, seperti yang akan saya jelaskan di belakang nanti.

Kebanyakan orang besar berusaha menjauhi rintangan yang ada dengan melalui jalan lain. Sama seperti yang saya lakukan beberapa hari yang lalu. Saya melewati sebuah jalan yang memiliki beberapa tanjakan ataupun polisi tidur. Rasanya kurang menyenangkan, ditambah dengan perut terasa seperti diacak acak dan tangan yang pegal karena harus mengontrol gas dan rem bergantian setiap detiknya.

Setiap kali lewat di sana, saya berpikir “Bagaimana caranya untuk melewati jalan ini dan sampai di tujuan saya, namun saya tidak perlu mengalami perasaan tidak enak yang ada tadi setelah tanjakan pertama?” Otak saya segera menjawab, ”Silahkan menunggu keajaiban!”

Tapi keajaiban seperti itu tidak akan datang.

Lupakan khayalan dan harapan Anda yang terlalu mengada-ada. Cara terbaik dan tercepat untuk menghadapi sebuah masalah adalah maju dan lalui rintangan itu, sama seperti sang anak kecil dengan sepedanya yang berani menantang kembali rintangan yang sebelumnya berhasil menjatuhkan dirinya.

Kebanyakan orang besar atau tua tidak mau mengakui bahwa kegagalan yang ada atau terjadi berasal dari dalam diri sendiri. Mereka mencari kambing hitam untuk disalahkan. Misalnya ketika terjatuh seperti anak kecil tadi, mereka akan mengeluh, “Kenapa sih polisi tidur ini harus ada di sini?”, “Kenapa kamu harus lewat di jalan ini sehingga kamu tertabrak oleh saya?”, “Kenapa dia harus sukanya sama orang yang sifatnya berbeda sama saya, itu salah dia!”

Orang yang seperti itu akan sulit melihat ke dalam dirinya. Mereka cenderung melihat ke arah luar dan menyalahkan segala sesuatu.
 

Fokus pada diri

Seorang pria muda yang telah belajar dengan keras untuk menjadi petarung kung fu terhebat berpikir jika ia dapat menemukan titik kelemahan lawannya, maka ia akan dapat memukulnya dan mengalahkan lawannya dalam kompetisi apapun. Ia memperhatikan mereka dengan seksama dan mempelajari kelemahan-kelemahan mereka sebelum bertanding dengan mereka. Tetapi setiap kali ia kalah. Dengan tertekan dan patah semangat ia menemui gurunya dan bertanya apa yang salah dengan strateginya. “Kelihatannya sangat masuk akal”, katanya, “jika mencari peluang kelemahan lawan saya, dan kemudian menggunakannya untuk mendapatkan kemenangan. Mengapa itu tidak berhasil?”
Gurunya menggambar garis di pasir dan berkata, “Pendekkanlah garis ini tanpa menyentuhnya atau menutupinya. Jika engkau dapat menemukan cara untuk melakukannya, engkau juga akan mengerti mengapa strategimu tidak berhasil”.
Orang muda itu memperhatikan garis itu berjam-jam dan merasa mustahil melakukan apa yang diminta gurunya. Akhirnya ia menyerah. “Ini adalah salah satu teka-teki yang tidak ada jawabannya”, protesnya.
“Tentu ada”, kata gurunya. “Sekarang perhatikanlah dengan seksama”. Kemudian ia menggambar garis yang lebih panjang di pasir, di samping garis yang pertama. “Beginilah caranya”, kata gurunya. “Tidakkah kau lihat garis yang pertama menjadi lebih pendek? Dan saya bahkan tidak menyentuhnya”.
Pelajaran moral dari kisah ini adalah jangan fokus pada hal-hal yang tidak dapat anda ubah. Melainkan, perbesarlah kekuatan-kekuatanmu. Tidak lama lagi apa yang menurut anda adalah cacat dalam diri anda akan menjadi tidak penting dan tidak dilihat orang lain bahkan diri anda sendiri. Alih-alih berusaha menghilangkan kekurangan anda, tingkatkanlah kesempurnaan.

100 keping perak tanpa kerja

Suatu kali, istri Abu Nawas mengeluhkan kondisi mereka yang amat miskin. Tentu saja dia menyalahkan Abu Nawas karena mencari nafkah adalah kewajiban seorang suami. Sebenarnya Abu Nawas beberapa kali dihadiahi oleh raja kepingan uang emas, namun selalu dia bagi-bagikan kepada mereka yang lebih membutuhkan. Maka kondisinya pun tetap dalam kekurangan.
"Hai suamiku, kapan kau membelikan aku gaun yang indah? Hidupmu hanya kau habiskan untuk berdoa saja!" ucap istri Abu Nawas.
"Semua ini kulakukan dengan penuh keikhlasan agar mendapat ridha Allah," ujar Abu Nawas melakukan pembelaan.
"Kalau begitu cobalah engkau meminta upah pada Allah saja," sahut sang istri.
Abu Nawas langsung pergi ke pekarangan untuk berdoa menyampaikan permohonannya. "Ya Allah, berilah hamba upah seratus keping perak!" teriaknya berulang-ulang.
Hal ini didengar oleh tetangganya yang sedang beristirahat di depan rumah. Diusilinya Abu Nawas dengan melemparinya uang perak ke kepala Abu Nawas hingga 100 keping.
Dikumpulkanlah 100 keping uang perak itu oleh Abu Nawas dan diserahkan pada istrinya. Namun tetangga Abu Nawas rupanya tidak terima uangnya diambil begitu saja oleh Abu Nawas. Didatanginya rumah Abu Nawas dan meminta uang itu agar dikembalikan.
Abu Nawas tidak bersedia memberikan uang itu kepada tetangganya karena dia merasa itu adalah upah yang langsung diberikan Allah atas doa dan iibadahnya selamai ini. Akhirnya mereka bersepakat menyelesaikan masalah ini di pengadilan.
Dalam sidang, hakim mengajukan pertanyaan, "Apa pembelaanmu Abu Nawas?"
"Tetangga saya ini sudah gila tuan hakim. Dia pikir semua harta di dunia adalah miliknya. Jika klaim ini diikuti, maka jubah saya, kuda saya, dan semuanya akan diakui miliknya," tutur Abu Nawas.
"Tapi itu memang milikku," sahut tetangga Abu Nawas.
Akhirnya sang hakim memutuskan bahwa si tetangga telah menganggu kekhusyukan ibadah Abu Nawas dengan melempari uang perak. Sebagai hukuman, maka uang-uang itu menjadi milik Abu Nawas.

Percaya Diri

Mungkin kita sering mendengar kata PERCAYA DIRI. Banyak yang mengartikan sebagai - Percaya kepada kemampuan diri sendiri -. Tetapi sejatinya, Percaya diri berarti MENGERJAKAN SESUATU TANPA RAGU, karena kita melakukan sesuatu apa yang kita percayai dan apa yang kita yakini. Jadi Percaya Diri bukanlah soal kemampuan, tetapi soal keyakinan.