Minggu, 27 Januari 2013

Rencana Tuhan sering tak terpahami, tapi indah pada saatnya

Sudah sejak lama, Udin menjadi semacam 'tumpuan' para karyawan di kantor untuk soal menyiapkan teh atau kopi beserta snack untuk pagi hari. Udin satu2nya office boy yang dipercaya untuk membuatkan minuman karyawan. Tak ada yang istimewa, hanya saja karena Udin sudah biasa dan tahu persis kebiasaan masing2 karyawan, kentalnya, manisnya, atau pahitnya minuman; kopi atau teh yang dihidangkannya selalu pas buat selera masing2 karyawan sesuai pesanan mereka.

"Kamu sudah menyiapkan kopi buat Boss mu, Din?" tanya Anang salah satu staff di perusahaan.
 "Belum mas, Boss belum datang. Biasanya Boss baru pesan minuman kalau sudah masuk kantor, supaya kopinya masih betul2 panas.." kata Anton enteng.
 "Hemm…gak biasanya boss terlambat datang…" Anang hanya bergumam sendiri dan melanjutkan kerja paginya; Anton si office boy langsung bergerak ke meja2 lainnya menyajikan minuman hangat.

Siapa yang tidak terkejut ketika satu jam kemudian si Boss besar masuk ruangan kantor dengan balutan perban di tangan dan keningnya, dan di bagian bibir kelihatan memar.
 "Lho, kenapa Boss?? Kog…" hampir bersamaan para karyawan bertanya.
 "Hemm….kecelakaan kecil waktu mau berangkat tadi pagi, tapi semua urusan sudah beres, saya tidak apa2…" jawab Boss tenang lalu menggerakkan jari telunjuk sebagai isyarat memanggil semua staff yang hadir untuk berbicara.

"Kecelakaan itu sepenuhnya kesalahan saya; saya melamun waktu mengemudi dan terlambat menyadari ada seorang bapak mendorong gerobak dagangannya di depan saya dan saya menabraknya. Bapak itu sendiri tidak terlalu parah luka2nya; sudah saya bawa ke rumah sakit dan mengantarkannya pulang. Tapi gerobak dan barang dagangannya rusak parah… Saya harus menggantinya…." Si Boss menjelaskan kepada rekan2nya.

"Trus, bagaimana Boss?" Anang, anggota staff yang paling dekat dengan Boss bertanya.
 "Nang, kamu bantu saya untuk belanja, biayanya masukkan ke rekening pribadi saya… Ini daftar list barang2 kelontong untuk mengganti kerusakan gerobak dan isinya. Kalau bisa sebelum jam pulang kantor sudah dapat semua barang2nya karena saya akan mengantarkan sendiri ke rumah bapak tersebut…" si Boss bergerak cepat.

"Udin, sini sebentar…" Boss segera memanggil si office boy ketika melihat Udin masuk.
 "Saya perlu bantuanmu. Ini memang di luar jam kerja, tapi bisakah kamu membantu saya nanti memasukkan barang2 belanjaan ke mobil dan nanti ikut saya ke rumah bapak yang saya tabrak gerobaknya pagi tadi?" minta sang Boss.

"Siap Boss…" Udin tak banyak bicara, ia seperti biasanya selalu siap untuk keperluan2 darurat, kapanpun Bossnya membutuhkan, tak peduli pekerjaan macam apapun. Itulah yang membuat Bos-nya dan hampir seluruh karyawan suka dengan Udin, ringan tangan dan cekatan.
 "Din, kamu tahu daerah belakang Stasiun Kereta Api dekat Pasar lama kan?" tanya si Boss untuk meyakinkan.
 "Kan rumah saya di sekitar situ, Boss. Ya tahu lah sedikit banyak.." Jawab Udin.
 "Emangnya nama bapak itu siapa, kalau saya boleh tahu?" Udin agak penasaran karena ia cukup hapal daerah yang dimaksud.

"Waduh….pak….siapa ya? Pak Tojo…Tojo gitu, saya lupa nama lengkapnya.." si Boss masih berpikir keras untuk mengingat. "Tapi saya masih ingat rumahnya kog…kenapa?" Giliran si Boss keheranan melihat UDin begitu perhatian.
 "Haa…., maksud Boss, pak Sutojo?? Gerobak dagangannya berwarna biru, Boss?? Rumahnya beratap seng yang sebagian baru dan sebagiannya lagi atap seng yang sudah tua; di depan rumahnya ada pohon Sukun??" Udin seperti gelagapan..

"Persis Din, kog kamu tahu??" si Boss seperti terbelalak.
 "Waduh Boss…jangan2 itu bapak saya…." Giliran Udin terduduk lemas. Mendengar hal itu semua karyawan lain terperangah. "Wah, gawat..kena kasus nih Boss kita sama office boy! Bisa sampe ke pengadilan nih…" Anang mencoba berkelakar. Lalu tanpa berpikir dua kali Anang menawarkan untuk ikut menemani sepulang kerja bersama Boss nya.
 "Saya ikut juga Boss, kebetulan tidak ada kesibukan selesai jam kantor.." Fitri juga comment.
 "Saya juga Boss..", "Saya nyusul pake motor.." jawab yang lain…Akhirnya semua karyawan setuju untuk ikut mengunjungi korban yang tak lain ayahnya si Udin. Rasa kekeluargaan yang terjalin antara karyawan seperti mengalahkan segalanya…

Mungkin benar, kecelakaan itu bukanlah sesuatu yang diharapkan; tapi dari situlah orang2 kantor jadi tahu keluarganya si Udin, jadi tahu bahwa rumah orang tuanya berdiri di atas tanah kontrakan, jadi tahu bahwa lantai rumahnya masih beralas tanah, dan tahu beratnya pak Sutojo menghidupi ke lima anaknya dengan berjualan barang2 kelontong dengan gerobak keliling. Bukan karena kecelakaan itu tentu saja; tapi si Boss memutuskan-atas persetujuan karyawan lainnya- untuk menyekolahkan si Udin ke sekolah tehnik dan mengangkatnya sebagai Maintenance di kantor.

"Ada hikmahnya Din, kecelakaan bapakmu ini…" Kata si Anang yang memang suka berkelakar.
 "Iya mas.." Si Udin mengamini. "Tapi semoga tidak terjadi lagi untuk kedua kalinya.." Jawab si Udin membuat semua orang tertawa terbahak2…..

Suasana lingkungan yang baik, relasi yang terjalin dengan baik, perilaku yang baik, bisa mengubah keadaan yang buruk menjadi baik. Tetapi situasi lingkungan dan relasi yang buruk bisa membuat hal2 yang buruk menjadi lebih buruk. Biasakanlah berperilaku baik dan terbuka atas kejadian di sekitar kita; dan kebaikan2 akan bertaburan sebagai rahmat2 yang tersembunyi bagi anda dan orang2 di sekitar anda.

Kamis, 17 Januari 2013

Kelelawar Kesepian


Alkisah, ada seekor kelelawar yang tinggal di daerah pedesaan. Saat itu, si kelelawar sedang beristirahat dengan menggelantung terbalik di dahan sebuah pohon. Tiba-tiba, kelelawar itu melihat lima ekor burung terbang makin cepat dan makin tinggi. Burung-burung itu tampak begitu menikmati waktu mereka di siang hari.

Si kelelawar mengikuti kawanan burung itu dan mengetahui kalau ternyata burung-burung itu sedang berkompetisi untuk menentukan siapa yang bisa terbang lebih cepat dan lebih tinggi. Tapi begitu diikuti terus, kawanan burung itu tiba-tiba menghilang dari pandangan. Si kelelawar sangat tertarik untuk bergabung dengan mereka. Maka esok harinya, kelelawar itu menunggu kawanan burung itu di pohon.

Yang dinanti-nanti akhirnya datang di tempat yang sama keesokan harinya. Si kelelawar meminta izin untuk ikut serta dalam kompetisi itu. Kawanan burung itu menolaknya karena mereka menganggap si kelelawar spesies yang buruk dan mereka takut padanya. Tapi, si kelelawar tetap mengikuti mereka dari jauh. Tanpa sepengetahuan mereka, si kelelawar juga mengikuti kompetisi itu. Dalam beberapa menit, kawanan burung itu menghilang. Si kelelawar merasa kesepian dan rendah diri karena merasa dirinya makhluk terburuk di bumi ini. Dia merasa sedih dan memutuskan untuk melatih dirinya terbang dengan jarak jauh.

Si kelelawar mengarungi jarak jauh tanpa tujuan apa pun. Akhirnya, dia putuskan untuk peristirahat di sebuah pohon dan betapa terkejutnya saat melihat kawanan burung juga ada di sana. Si kelelawar menjadi sangat bahagia karena mampu menempuh jarak terbang kawanan burung itu. Si kelelawar bertanya pada mereka, apakah dia bisa ikut berkompetisi? Setelah berdiskusi sejenak, kawanan burung itu akhirnya membolehkan si kelelawar untuk bergabung.

Kawanan burung itu memulai terbangnya dan si kelelawar juga mengikutinya dengan energi penuh. Beberapa menit kemudian, langit menjadi gelap sehingga kawanan burung itu tidak bisa terbang di malam hari. Gerakan mereka mulai melambat dan si kelelawar terbang mendahului mereka karena dia mampu terbang di malam hari dengan menggunakan pantulan suara dan sensor khusus di tubuhnya. Si kelelawar begitu gembira dan terbang lebih cepat.
kelelawar yang kesepian
Setelah menempuh jarak beberapa meter, si kelelawar mengingatkan kawanan burung untuk mengikutinya. Tapi, begitu menoleh, si kelelawar baru menyadari kawanan burung itu sudah menghilang. Si kelelawar berbalik arah dan menemukan mereka di sebuah pohon. Kawanan burung itu memberi tahu kelelawar bahwa jarak yang mereka tempuh saat ini melebihi jarak yang biasanya mereka capai dan sekarang mereka tidak bisa kembali pulang karena mereka tidak mampu terbang di malam hari. Si kelelawar membantu mereka dan memandunya terbang pulang.

Si kelelawar merasa sangat bahagia, dan menceritakan kisahnya pada sesama kelelawar. Tapi, teman-temannya itu malah memberi respons negatif, "Kau ini bodoh, ya. Kau kan bisa saja dengan mudah memenangkan kompetisi itu dan bisa membanggakan spesies kita." Tapi si kelelawar yang bahagia itu menjawab lagi, "Aku sudah bahagia waktu aku mendapat kepercayaan dari kawanan burung itu, sehingga aku bisa menjadi pesaing mereka. Aku malah lebih bahagia begitu tahu kalau spesies kita punya kemampuan unik. Dan aku paling bahagia ketika kemampuan itu membantuku memandu burung-burung itu kembali pulang. Selain itu, kompetisi konyol seperti ini tidak lagi penting bagiku."

Memiliki bakat atau kemampuan tertentu adalah sebuah berkah. Menyadari betul bakat yang kita miliki adalah sebuah kesadaran diri. Memanfaatkan bakat itu demi kebaikan orang lain adalah perbuatan mulia. Jangan sampai kita merasa rendah diri. Jika perasaan negatif itu menyergap diri kita, itu pertanda bahwa kita belum mengenali bakat kita. Dan sekalipun kita sudah menemukan bakat terpendam kita, jangan lupa untuk menggunakan bakat itu demi kebaikan sesama.

Rabu, 16 Januari 2013

Orang Tuli dan Orang Bisu

Pada suatu ketika, hiduplah seorang penggembala miskin. Setiap hari ia menggiring domba-dombanya ke bukit mencari rumput segar. Dari sana ia memandangi desa tempat ia tinggal bersama keluarganya. Ia tuli, tetapi itu tak jadi masalah baginya.
Suatu hari istrinya lupa mengirim bungkusan makan siangnya; juga tidak menyuruh anak mereka untuk membawakannya. Sampai tengah hari kiriman itu tidak datang juga. Si penggembala itu berpikir, “Aku akan pulang dan mengambilnya. Aku tidak dapat berdiam di sini sepanjang hari tanpa sepotong makanan.” Namun ia tidak dapat meninggalkan domba-dombanya. Tiba-tiba ia memperhatikan seorang pemotong rumput di tepi bukit. Ia menghampirinya dan berkata, “Saudaraku, tolong jaga domba-dombaku ini dan awasi jangan sampai tersesat atau berkeliaran. Aku akan kembali ke desa karena istriku begitu bodoh lupa mengirim makan siangku.”
Ternyata pemotong rumput itu juga tuli. Ia tidak mendengar satu kata pun yang diucapkan, dan sama sekali salah paham terhadap maksud si penggembala.
Katanya, “Mengapa aku harus memberi rumput untuk ternakmu? Sedangkan aku sendiri memiliki seekor sapi dan dua ekor kambing di rumah. Tidakkah kau lihat, aku ini harus pergi jauh demi mencari rumput bagi ternak-ternakku.
Tidak, tinggalkan aku. Aku tidak ada urusan dengan orang sepertimu yang hanya ingin enaknya sendiri mengambil milikku yang cuma sedikit ini.” Ia menggerakkan tangannya dan tertawa kasar.
Si penggembala tidak mendengar apa yang dikatakan oleh si pemotong rumput.
Katanya, “Oh, terima kasih kawan, atas kebaikkan dan kesediaanmu. Aku akan segera kembali. Semoga keselamatan dan berkah tercurah atas dirimu. Engkau telah meringankan bebanku.” Ia segera berlari ke desa menuju gubuknya yang sederhana. Di sana ia mendapati istrinya sakit demam dan sedang dirawat oleh para istri tetangga.
Kemudian, si penggembala itu mengambil bungkus makanan dan berlari kembali ke bukit. Ia menghitung domba-dombanya dengan cermat. Semuanya masih lengkap seperti semula. Ia lalu melihat si pemotong rumput masih sibuk memotong rumput segar. Si penggembala ini berkata pada dirinya sendiri, “Ah, betapa luar biasa pribadi si pemotong rumput ini. Benar-benar dapat dipercaya. Ia sudah menjaga domba-dombaku agar tidak terpencar bahkan tidak mengharapkan terima kasih dariku. Aku akan memberinya domba pincang ini. Sebenarnya domba pincang ini akan kusembelih sendiri, namun biarlah aku berikan pada si pemotong rumput itu agar bisa jadi makan malam yang lezat bagi keluargnya.
Ia pun memanggul domba pincang yang dimaksud di atas bahunya, menuruni bukit dan berteriak pada si pemotong rumput, “Wahai saudaraku!, ini hadiah dariku, karena engkau telah menjaga domba-dombaku selama aku pergi. Istriku yang malang menderita demam, itulah mengapa ia tidak mengirimkan aku makan siang.
Pangganglah domba ini untuk makan malammu nanti malam; lihat domba ini kakinya pincang dan memang akan aku sembelih!”
Tetapi disisi lain, si pemotong rumput tidak mendengar kata-katanya dan berteriak marah, “Penggembala busuk! Aku tidak tahu apapun yang terjadi selama kau pergi. Jadi jangan salahkan aku atas kaki pincang dombamu! Sedari tadi aku sibuk memotong rumput, dan tidak tahu mengapa hal itu terjadi!
Pergilah, atau aku akan memukulmu!”
Si penggembala itu amat heran melihat sikap marah si pemotong rumput, tetapi ia tidak dapat mendengarkan apa yang dikatakannya. Tiba-tiba ada seorang melintas di antara mereka dengan menunggang seekor kuda yang bagus. Si penggembala menghentikan si penunggang kuda itu dan berkata, “Tuan penunggang kuda yang mulia, aku mohon katakan padaku apa yang diucapkan oleh pemotong rumput itu. Aku ini tuli, dan tidak tahu mengapa ia menolak pemberianku berupa seekor domba ini, malah marah-marah seperti itu.”
Si penggembala dan si pemotong rumput mulai saling berteriak pada si penunggang kuda untuk menjelaskan kemauannya masing-masing. Si penunggang kuda itu turun dan menghampiri mereka. Ternyata penunggang kuda itu pun sama tulinya. Ia tidak mendengar apa-apa yang kedua orang itu katakan. Justru, ia ini sedang tersesat dan hendak bertanya dimana dirinya saat ini. Tetapi ketika melihat sikap keras dan mengancam dari ke dua orang itu, akhirnya ia berkata, “Benar, benar, saudara. Aku telah mencuri kuda ini. Aku mengakui, tetapi aku tidak tahu kalau itu milik kalian. Maafkan aku, karena aku tidak dapat menahan diriku dan bertindak mencuri.”
“Aku tidak tahu apa-apa tentang pincangnya domba ini!” teriak pemotong rumput.
“Suruh ia mengatakan padaku mengapa pemotong rumput itu menolak pemberianku, ” desak si penggembala, “aku hanya ingin memberikannya sebagai penghargaan tanda terima kasihku.”
“Aku mengaku mengambil kuda. Aku akan kembalikan kuda ini. “kata penunggang kuda,” tapi aku tuli, dan tidak tahu siapa di antara kalian pemilik sesungguhnya kuda ini.”
Pada saat itu, dari kejauhan, tampak seorang guru tua berjalan. Si pemotong rumput lari menghampirinya, menarik jubah lusuhnya dan berkata, “Guru yang mulia, aku seorang tuli yang tidak mengerti ujung pangkal apa yang dibicarakan oleh kedua orang ini. Aku mohon kebijaksanaan anda, adili dan jelaskan apa yang mereka teriakkan.”
Namun, si Guru tua ini bisu dan tidak dapat menjawab, tapi ia mendatangi mereka dan memandangi ketiga orang tuli tersebut dengan penuh selidik.
Sekarang ketiga orang tuli itu menghentikan teriakan mereka. Guru itu memandangi sedemikian lama dan dengan tajam, satu per satu hingga ketiga orang itu merasa tidak enak. Matanya yang hitam berkilauan menusuk ke dalam mata mereka, mencari kebenaran tentang persoalan tersebut, mencoba mendapatkan petunjuk dari situasi itu.
Tetapi ketiga orang tuli itu mulai merasa takut kalau-kalau guru tua itu menyihir mereka atau mengendalikan kemauan mereka. Tiba-tiba si pencuri kuda meloncat ke atas kuda dan memacunya kencang-kencang. Begitu juga si penggembala, segera mengumpulkan ternaknya dan menggiringnya jauh ke atas bukit. Si pemotong rumput tidak berani menatap mata guru tua itu, lalu ia mengemasi rumputnya ke dalam kantong dan mengangkatnya ke atas bahu dan berjalan menuruni bukit pulang ke rumahnya.
Guru tua itu melanjutkan perjalanannya, berpikir sendiri bahwa kata-kata merupakan bentuk komunikasi yang tidak berguna, bahwa orang mungkin lebih baik tidak pernah mengucapkannya!

Mengenal Orang Lain


Setiap kali Winda memperhatikan Sofi rekan kerjanya yang baru dua bulan bekerja, dia merasa heran. Meskipun masih baru, tapi Sofi ramah. Dalam waktu singkat, Sofi sudah mengenal semua orang. Dia hapal nama 12 satpam. Winda sendiri tidak hapal semua, paling banyak hanya enam nama yang dia ingat. Tapi Sofi lain, setiap pagi, begitu sampai di kantor, dia selalu menyapa para satpam sambil menyebut nama mereka dengan akrab. Bahkan Sofi tahu kalau ada yang istrinya sedang sakit, atau yang anaknya baru masuk sekolah dasar, atau yang baru kembali dari berlibur ke kampung halamannya di Lumajang karena menengok neneknya.
Winda semakin tertarik untuk mengamati Sofi. Bagi Winda, yang sudah tiga tahun bekerja, belum pernah ada karyawan yang seperti Sofi. Suatu pagi, Sofi baru saja tiba di kantor ketika kebetulan berpapasan dengan Rusdi, Presiden Direktur, yang juga baru tiba. Dengan sopan Sofi tersenyum dan mengucapkan selamat pagi. Kebetulan Winda sedang berada di dekat mereka.
Pak Rusdi juga tersenyum dan menjawab selamat pagi. Sofi langsung bertanya apakah kaki beliau yang terkilir minggu lalu sudah membaik. Sambil tertawa pak Rusdi menjawab bahwa kakinya sudah sembuh, tapi masih belum bisa untuk main bola.
Winda ikut tertawa mendengar jawaban beliau. Dalam hati kecilnya, dia merasa malu sendiri. Dia sendiri sudah lupa bahwa pak Rusdi minggu lalu terkilir kakinya. Tapi ternyata Sofi masih ingat. Malah, Sofi berani bertanya mengenai kondisi kaki beliau. Winda merasa, seandainya dia ingat pun, belum tentu dia berani menanyakan hal itu secara langsung.
Minggu lalu Sofi terpeleset ketika turun dari kendaraan umum. Terkilir sih tidak, hanya lecet sedikit tergores aspal. Sesampainya di kantor semua orang menanyakan kakinya yang tampak kecoklatan karena diberi obat antiseptik. Mendengar cerita Sofi, semua orang menunjukkan perasaan kesal kepada sopir kendaraan umum itu karena sudah langsung jalan ketika Sofi sedang turun, akibatnya dia terpeleset.
Para satpam menunjukkan rasa prihatin terhadap kecelakaan yang dialami Sofi. Bahkan, waktu kembali dari makan siang dan berpapasan dengan Pak Rusdi, beliaupun menanyakan kaki Sofi.
Dari sini, Winda bisa melihat dan merasakan bahwa semua orang menjadi akrab dan memberikan perhatian kepada Sofi, karena Sofi terlebih dahulu memberikan perhatian yang tulus kepada orang lain. Sofi tidak mencari muka. Pertanyaan Sofi mengenai anak satpam yang sakit sama tulusnya dengan pertanyaannya mengenai kaki pak Rusdi yang terkilir. Sofi membuat semua orang merasa penting.
Suatu hari Winda sengaja mendatangi Sofi untuk bercakap-cakap. Winda menanyakan pada Sofi mengapa dia bisa mengingat semua nama karyawan lainnya. Mengapa Sofi bisa mengingat keadaan keluarga mereka, siapa yang istrinya sakit, siapa yang anaknya baru disunat, siapa yang sudah tidak masuk kerja dua hari, dan sebagainya. Sofi sendiri bingung ketika ditanya begitu.
Selama ini Sofi hanya bertindak spontan. Tanpa disadarinya dia membuat semua orang merasa diri mereka penting. Sofi merasa tidak pernah dengan sengaja mengingat nama semua orang, atau mengingat keadaan istri dan anak-anak mereka.
Spontan
Dia mengaku bahwa semua pertanyaannya tentang istri dan anak mereka itu muncul dengan sendirinya pada saat berhadapan dengan orang yang bersangkutan. Seperti ketika berhadapan dengan Pak Rusdi, Sofi secara spontan ingat tentang kaki beliau yang terkilir sehingga dengan spontan juga dia menanyakan hal itu.
Winda melihat bahwa Sofi tidak bohong. Berhari-hari dia mengamati Sofi. Pada saat masuk kantor, saat makan siang, saat bekerja dan saat selesai kerja. Akhirnya Winda menemukan satu kesimpulan yang diyakininya pasti benar.
Sofi mudah mengingat nama orang lain karena dia benar-benar memperhatikan mereka secara tulus. Sofi selalu sibuk bekerja, tapi pada saat berkenalan dengan seseorang, Sofi benar-benar mendengarkan siapa nama mereka.
Ketika tanpa sengaja dia mendengar ada yang istrinya sakit, Sofi benar-benar ikut merasa sedih mendengarnya. Sehingga ketika bertemu dengan orang itu, Sofi secara spontan menanyakan istrinya. Bukan sekadar basa-basi.
Winda sadar bahwa ternyata sikap Sofi didasari dari hati yang tulus. Tapi Winda penasaran, masak sih dia tidak bisa bersikap seperti Sofi? Tentu saja dengan caranya sendiri, karena dia ingin bersikap tulus, bukan sekadar meniru Sofi.
Winda mulai membuat buku catatan. Dia mulai dengan mendaftar semua nama karyawan di kantor. Di rumah, dia membaca ulang dan menghapalkannya. Tak terasa, seminggu kemudian dia merasa lebih memperhatikan orang lain.
Karena takut lupa, Winda seringkali menuliskan kejadian-kejadian penting yang dialami orang lain. Tapi, ketika dia merasa telah mulai tumbuh minat untuk lebih mengenal orang lain, maka tanpa sengaja, ternyata memang lebih mudah mengingat hal-hal yang menimpa mereka. Sofi benar. Winda hanya tinggal menumbuhkan minat untuk memperhatikan orang lain, maka keramahan dan perhatian akan timbul dengan sendirinya. Make friends and know your friends!

Berat Segelas Air

Saat Stephen R. Covey mengajar tentang Manajemen Stress, dia bertanya kepada para peserta kuliah,

“Menurut anda, kira-kira berapa berat segelas air ini?” Jawaban para peserta sangat beragam, mulai dari 200 gram sampai 500 gram.

“Sesungguhnya yang menjadi masalah bukanlah berat absolutnya. Tetapi berapa lama anda memegangnya,” ungkap Covey.

“Jika saya memegangnya selama satu menit, tidak ada masalah. Jika saya memegangnya selama satu jam, lengan kanan saya akan sakit. Jika saya memegangnya selama satu hari penuh, mungkin anda harus memanggilkan ambulans untuk saya,” lanjutnya.

“Beratnya sebenarnya sama, tapi semakin lama saya memegangnya, maka bebannya akan semakin berat. Jika kita membawa beban terus menerus, lambat laun kita tidak akan mampu membawanya lagi. Beban itu terasa meningkat beratnya,” ungkap Covey.

”Yang harus kita lakukan adalah meletakkan gelas tersebut. Istirahat sejenak sebelum mengangkatnya lagi. Kita harus meninggalkan beban kita, agar kita dapat lebih segar dan mampu membawanya lagi. Jadi sebelum pulang ke rumah dari pekerjaan sehari-hari, tinggalkan beban pekerjaan anda. Jangan bawa pulang. Beban itu dapat diambil lagi besok,” lanjutnya.

“Apapun beban yang ada di pundak anda hari ini, coba tinggalkan sejenak. Setelah beristirahat, nanti dapat diambil lagi. Hidup ini sangat singkat, jadi cobalah menikmatinya dan memanfaatkannya. Hal terindah dan terbaik di dunia ini tak dapat dilihat atau disentuh, tapi dapat dirasakan jauh di dalam hati kita,” kata Covey.

Untuk mendapatkan, berbuatlah dulu


Seorang pria tersesat di gurun pasir. Ia hampir mati kehausan. Akhirnya, ia tiba di sebuah rumah kosong. Di depan rumah tua tanpa jendela dan hampir roboh itu, terdapat sebuah pompa air. Segera ia menuju pompa itu dan mulai memompa sekuat tenaga. Tapi, tidak ada air yang keluar.
Lalu ia melihat ada kendi kecil di sebelah pompa itu dengan mulutnya tertutup gabus dan tertempel kertas dengan tulisan,”Sahabat, pompa ini harus dipancing dengan air dulu.. Setelah Anda mendapatkan airnya, mohon jangan lupa mengisi kendi ini lagi sebelum Anda pergi.” Pria itu mencabut gabusnya dan ternyata kendi itu berisi penuh air.

“Apakah air ini harus dipergunakan untuk memancing pompa? Bagaimana kalau tidak berhasil? Tidak ada air lagi. Bukankah lebih aman saya minum airnya dulu daripada nanti mati kehausan kalau ternyata pompanya tidak berfungsi? Untuk apa menuangkannya ke pompa karatan hanya karena instruksi di atas kertas kumal yang belum tentu benar?” Begitu pikirnya.
Untung suara hatinya mengatakan bahwa ia harus mencoba mengikuti nasihat yang tertera di kertas itu, sekali pun berisiko. Ia menuangkan seluruh isi kendi itu ke dalam pompa yang karatan itu dan dengan sekuat tenaga memompanya.
Benar!! Air keluar dengan melimpah. Pria itu minum sepuasnya.
Setelah istirahat memulihkan tenaga dan sebelum meninggalkan tempat itu, ia mengisi kendi itu sampai penuh, menutupkan kembali gabusnya dan menambahkan beberapa kata di bawah instruksi pesan itu: “Saya telah melakukannya dan berhasil. Engkau harus mengorbankan semuanya terlebih dahulu sebelum bisa menerima kembali secara melimpah. PERCAYALAH!! Inilah kebenaran hukum alam.”

Selasa, 15 Januari 2013

2 Orang Tua


Kisah mengenai dua lelaki tua yang melakukan perjalanan ke tempat suci, di Yerusalem. Efim, merupakan seorang lelaki kaya yang bersahaja, dan tidak pernah melakukan hal buruk dalam hidupnya; Sedangkan Elisha merupakan lelaki yang tidak terlalu kaya, baik hati, namun terkadang melakukan hal-hal buruk dalam hidupnya seperti minum-minuman keras. Selama dalam perjalanan, Efim masih sering memilikirkan tentang pekerjaan yang ia tinggalkan, dan ia titipkan pada anak dan istrinya. Sedangkan Elisha hanya memikirkan bagaimana mereka dapat sampai dalam keadaan damai.
Dalam perjalanan, Elisha merasa sangat haus dan meminta temannya untuk melanjutkan perjalanan, dan ia akan menyusulnya nanti. Dalam perjalanannya mencari air, Elisha bertemu dengan sebuah keluarga yang sedang kelaparan, dan banyak anggota keluarganya yang sakit. Kemudian ia memutusnya untuk menolong merawat keluarga tersebut dan membelikan makanan untuk mereka. Karena uang yang dimiliki Elisha sangat terbatas, dan telah dipergunakannya untuk menolong keluarga malang tersebut, uangnya tidak cukup lagi untuk biaya perjalanan ke tempat suci. Akhirnya ia memutuskan untuk pulang kembali ke rumahnya.
Efim akhirnya sampai di tempat suci, dan melakukan ritual doa. Berkali-kali ia melihat kehadiran Elisha temannya di tempat doa,namun setiap kali ia mendekatinya, Elisha menghilang. Dalam perjalanan pulang ke rumahnya, Efim ditolong oleh keluarga yang dulu ditolong oleh Elisha sahabatnya. Saat tiba kembali di rumahnya, Efim menyadari bahwa walaupun Elisha tidak sampai ke tempat suci, namun peziarahan Elisha telah diterima oleh Tuhan.

Belarasa, tema APP Keuskupan Bandung 2013


TUHAN MAHA TAHU, TAPI SABARLAH….

(God Sees The Truth, But Waits… Oleh Leo Tolstoy)

Di kota Vladimir hiduplah seorang saudagar muda yang bernama Ivan Dimitrich Aksionov. Ia memiliki sebuah rumah dan dua buah toko.
Aksionov adalah seorang pria tampan berambut pirang keriting, penuh canda dan gemar menyanyi. Ketika masih sangat muda ia suka minum‑minum dan bikin ribut kalau mabuk. Tapi setelah menikah ia pun berhenti minum, kecuali sesekali saja.
Pada suatu musim panas Aksionov akan berangkat ke Pasar Malam Nizhny, dan ketika berpamitan dengan keluarganya, istri­nya berkata, “Ivan Dimitrich, jangan berangkat hari ini. Aku telah bermimpi buruk tentangmu.”
Aksionov tertawa dan menyahut, “Kau khawatir kalau sesampainya di sana nanti, aku akan berfoya‑foya.”
Istrinya menjawab, “Aku tak tahu apa yang kukhawatirkan, yang kutahu hanyalah bahwa aku telah bermimpi buruk. Dalam mimpi itu kulihat setelah kau pulang dari kota dan membuka topi, seluruh rambutmu telah ubanan.”
Aksionov tertawa. “Itu pertanda baik,” ujarnya. “Lihat kalau sampai aku tidak menjual habis semua barang‑barangku, dan membawakanmu oleh‑oleh dari sana.”
Maka iapun berpamitan kepada keluarganya dan berangkat dengan kereta kudanya.
Ketika baru setengah perjalanan ia berjumpa dengan seorang saudagar kenalannya, dan merekapun menginap di losmen yang sama malam itu. Mereka menikmati teh bersama dan setelah itu berangkat ke tempat tidur di ruang yang bersebelahan.
Bukanlah kebiasaan Aksionov untuk tidur sampai larut, dan karena ingin berangkat ketika hari masih dingin, ia mem­bangunkan kusirnya sebelum fajar dan menyuruhnya menyiapkan kuda. Kemudian ia pergi ke tempat pemilik losmen yang tinggal di sebuah pondok di belakang, membayar sewanya dan melanjutkan perjalanan.
Setelah berjalan kira‑kira sejauh dua puluh lima mil, ia menyuruh berhenti untuk memberi makan kuda. Aksionov beristi­rahat sejenak di gang losmen, lalu ia beranjak ke serambi depan dan sambil menyuruh untuk memanaskan samovar, iapun mengeluarkan gitarnya dan mulai memainkannya.
Tiba‑tiba sebuah troika mendekat dengan bunyi lonceng yang bergemerincing, seorang perwira turun diikuti oleh dua orang prajurit. Ia mendatangi Aksionov dan mulai menanyainya, tentang siapa dia dan kapan dia datang. Aksionov menjawab semua pertanyaannya, dan berkata,”Bersediakah Anda minum teh bersama saya?” Tapi sang perwira tetap meneruskan menanyainya.
“Di mana Anda menginap tadi malam? Apakah Anda sendirian ataukah bersama seorang saudagar yang lain? Apakah Anda ber­jumpa dengan seorang saudagar yang lain pagi ini? Kenapa Anda tinggalkan losmen itu sebelum fajar?”
Aksionov heran kenapa ia ditanyai dengan semua perta­nyaan itu, namun iapun menceritakan juga semua yang telah dialaminya, lalu menambahkan, “Kenapa Anda menanyai saya berulang‑ulang begitu seakan‑akan saya ini seorang pencuri atau perampok saja? Saya sedang dalam perjalanan bisnis, dan tidak perlu menginterogasi seperti itu.”
Kemudian sang perwira sambil memanggil para prajurit berkata, “Saya adalah perwira polisi di distrik ini, dan saya menanyai Anda karena saudagar yang menginap bersama Anda semalam telah ditemukan dalam keadaan tewas dengan leher tergorok. Kami harus memeriksa barang‑barang Anda.”
Merekapun memasuki rumah. Para prajurit dan perwira polisi tadi membuka kopor‑kopor Aksionov dan menggeledahnya. Tiba‑tiba sang perwira menarik sebilah pisau dari sebuah tas sambil berseru, “Pisau siapa ini?” Aksionov yang melihat sebilah pisau bernoda darah ditarik dari tasnya menjadi takut.
“Bagaimana ada darah di pisau ini?”
Aksionov berusaha menjawab namun dengan susah payah hanya mampu berucap dengan terbata‑bata:
“A‑ku ti‑dak ta‑hu. Bu‑kan mi‑lik‑ku.”
Kemudian sang perwira polisi berkata, “Pagi ini saudagar itu ditemukan di atas ranjang dengan leher tergorok. Andalah satu‑satunya orang yang dapat melakukannya. Rumah itu dikunci dari dalam dan tak ada orang lain di sana. Pisau bernoda darah ini berada di dalam tas Anda, lagi pula sudah jelas kelihatan dari wajah dan sikap Anda! Katakan bagaimana Anda membunuhnya, dan berapa banyak uang yang Anda curi?”
Aksionov bersumpah bahwa dirinya tidak melakukan hal itu. Dia tidak berjumpa lagi dengan saudagar itu sejak mereka usai minum teh bersama, dia tidak punya uang selain delapan ribu rubel miliknya sendiri, dan bahwa pisau itu bukan milik­nya. Tapi suaranya pecah, wajahnya pucat, dan dia pun gemetar ketakutan seakan‑akan memang bersalah.
Sang perwira polisi memerintahkan anak buahnya untuk mengikat Aksionov dan memasukkannya ke dalam kereta. Ketika mereka mengikat kedua kakinya jadi satu dan menghempaskannya ke dalam kereta, Aksionov berdoa dengan membuat isyarat tanda salib dengan tangannya dan menangis. Uang dan barang‑barangnya disita, ia dikirim ke kota terdekat dan ditahan di sana. Penyelidikan tentang diri­nya dilakukan di Vladimir. Para saudagar dan penduduk lain di kota itu mengatakan bahwa dulunya ia memang suka minum‑minum dan membuang‑buang waktu percuma, namun dia adalah orang baik. Kemudian sidang pengadilanpun digelar: ia dituduh telah membu­nuh seorang saudagar dari Ryazan dan merampoknya sebanyak dua puluh ribu rubel.
Istrinya putus asa dan tidak tahu apa yang harus dipercaya. Anak‑anaknya masih kecil, yang seorang malah masih menyusu. Sambil membawa mereka semua, ia berangkat ke kota di mana suaminya ditahan. Mulanya ia tidak diijinkan menjumpai suami­nya, namun setelah memohon dengan amat sangat, iapun mendapat­kan ijin dari para pejabat dan diantar menemui suaminya. Ketika melihat suaminya memakai seragam tahanan dan dirantai, dikurung bersama para pencuri dan penjahat—wanitu itupun jatuh pingsan dan tidak sadar‑sadar sampai beberapa lama. Setelah siuman ia menarik anak‑anaknya ke dirinya dan duduk di samping suaminya. Diceritakannya tentang keadaan di rumah, dan menanyakan apa yang menimpa suaminya. Pria itupun menceritakan semuanya. Lalu sang istri bertanya, “Apa yang dapat kita per­buat sekarang?”
“Kita harus mengajukan permohonan kepada Tsar agar tidak membiarkan orang yang tidak bersalah binasa.”
Istrinya mengatakan bahwa ia telah mengajukan permohonan itu kepada Tsar, tapi tidak dikabulkan. Aksionov tidak menja­wab namun hanya tampak putus asa.
Kemudian istrinya berkata, “Ternyata bukan tak ada artinya aku dulu bermimpi rambutmu ubanan. Masih ingatkah? Seharusnya kau tidak berangkat pada hari itu”. Dan sambil membelai rambut suaminya iapun berkata, “Vanya, sayang, kata­kanlah yang sejujurnya kepada istrimu ini. Apakah memang bukan kau yang melakukannya?”
“Jadi kaupun mencurigaiku!” sahut Aksionov, dan sambil membenamkan wajahnya ke dalam telapak tangan, iapun menangis. Lalu datanglah seorang prajurit yang mengatakan bahwa sang istri dan anak‑anaknya harus pergi. Aksionovpun mengucapkan selamat tinggal kepada keluarganya untuk yang terakhir kali­nya.
Ketika mereka telah pergi, Aksionov mengingat‑ingat percakapan tadi, dan ketika terkenang bahwa istrinyapun ikut mencurigainya, ia berkata pada dirinya, “Tampaknya hanya Tuhan saja yang tahu kebenaran ini, hanya kepada‑Nya kita berdoa dan minta ampun.”
Dan Aksionovpun tidak lagi mengajukan petisi dan berha­rap banyak, ia hanya berdoa kepada Tuhan.
Aksionov dijatuhi hukuman cambuk dan dikirim ke pertam­bangan. Iapun dicambuk dengan cemeti, dan setelah luka‑luka cambukan itu sembuh, ia dibawa ke Siberia bersama para pekerja paksa lainnya.
Selama dua puluh enam tahun Aksionov hidup sebagai seorang pekerja paksa di Siberia. Rambutnya berubah menjadi seputih salju, janggutnyapun tumbuh panjang, tipis, berwarna abu‑abu. Semua keceriaannya punah, ia selalu menunduk, berja­lan perlahan, sedikit bicara, dan tak pernah tertawa, namun sering berdoa.
Di dalam penjara Aksionov belajar membuat sepatu boot, dan memperoleh sedikit uang yang dibelikannya buku Kehidupan Orang‑Orang Saleh. Ia membaca buku itu ketika terdapat cukup cahaya di dalam penjara. Dan setiap hari Ahad di dalam gereja penjara ia membaca pelajaran‑pelajaran serta ikut menyanyi dalam paduan suara karena suaranya masih bagus.
Para pejabat penjara menyukai Aksionov karena kepatuhan­nya, dan teman‑teman sesama napi pun menghormatinya. Mereka menjulukinya dengan sebutan “Kakek” dan “Orang Saleh”. Kalau mereka ingin mengajukan permohonan kepada para pejabat penjara tentang hal apa saja, mereka selalu mengangkat Aksionov seba­gai juru bicaranya. Dan manakala terjadi keributan di antara sesama napi, mereka datang kepadanya untuk memutuskan perkara yang benar.
Tak ada berita yang sampai kepada Aksionov dari rumah­nya, bahkan iapun tak tahu apakah istri dan anak‑anaknya masih hidup.
Suatu hari sekelompok tahanan kerja paksa baru didatang­kan ke penjara. Sorenya, para napi lama mengerumuni rekan‑rekannya yang baru itu dan menanyai mereka: dari kota atau desa mana saja mereka berasal dan dihukum karena perbuatan apa. Di tengah‑tengah istirahat, Aksionov duduk di dekat para pendatang baru itu dan ikut mendengarkan dengan roman muka putus asa atas apa yang diucapkan.
Salah seorang di antara pekerja paksa baru itu adalah seorang pria berumur enam puluh tahunan berperawakan tinggi kekar dan berjenggot lebat terpangkas rapi, ia sedang berceri­ta kepada yang lainnya kenapa dirinya ditahan.
“Baiklah, teman‑teman,” ujarnya, “aku hanya mengambil seekor kuda yang sedang diikat di pengeretan. Lalu aku ditahan dan dituduh atas pencurian. Telah kukatakan bahwa aku mengam­bilnya supaya bisa cepat pulang ke rumah, kemudian melepasnya pergi. Lagi pula, pengendaranya adalah temanku sendiri. Dengan demikian aku bilang, ‘Itu tidak apa‑apa’. Tapi mereka mengata­kan, ‘Tidak. Kau telah mencurinya’. Tapi bagaimana dan kapan aku mencurinya mereka tak dapat menunjukkannya. Dulu, pernah sekali aku memang sungguh‑sungguh berbuat salah, dan seharus­nya berdasar hukum sudah berada di sini sejak lama, tapi ketika itu aku tidak tertangkap. Kini aku dikirim kemari tanpa alasan sama sekali…. Eh, tapi itu cuma bohong yang kucerita­kan kepada kalian. Aku pernah ke Siberia sebelumnya namun tidak tinggal lama.”
“Dari mana asalmu?” tanya seseorang.
“Dari Vladimir. Keluargaku berasal dari kota itu. Namaku Makar, dan mereka juga memanggilku Semyonich.”
Aksionov mengangkat kepalanya dan berkata, “Katakan padaku, Semyonich, apakah kau tahu sesuatu tentang keluarga saudagar Aksionov dari Vladimir? Apakah mereka masih hidup?”
“Tahu tentang mereka? Tentu saja. Keluarga Aksionov kaya, meskipun ayah mereka berada di Siberia, tampaknya seo­rang pendosa juga seperti kita! Lalu bagaimana dengan Anda sendiri, Kek? Bagaimana Anda bisa sampai di tempat ini?”
Aksionov tidak ingin menceritakan kemalangannya. Ia hanya mendesah dan berkata, “Karena dosa‑dosaku maka aku berada di dalam penjara selama dua puluh enam tahun ini.”
“Dosa‑dosa apa?” tanya Makar Semyonich.
Namun Aksionov hanya berkata, “Yah… aku memang layak mendapatkannya!”
Ia tak ingin berkata lebih banyak, namun teman‑temannya memberitahukan kepada para pendatang baru itu bagaimana Aksio­nov bisa sampai ke Siberia. Bagaimana seseorang telah membunuh seorang saudagar, lalu menyelipkan pisaunya ke dalam barang‑barang Aksionov, dan Aksionovpun secara tidak adil telah dijatuhi hukuman.
Ketika Makar Semyonich mendengar semua ini, ia meman­dangi Aksionov, dan berseru sambil menepuk‑nepuk lututnya sendiri, “Wow, sungguh luar biasa! Sangat luar biasa! Tapi betapa cepatnya kau menjadi tua, Kek!”
Yang lainnyapun menanyainya kenapa ia begitu terkejut, dan di manakah ia pernah melihat Aksionov sebelumnya, namun Makar Semyonich tidak memberikan jawaban. Ia hanya berkata, “Ini luar biasa bahwa kita akan bertemu di sini, hai budak‑budak!”
Kata‑kata ini membuat Aksionov bertanya‑tanya apakah pria ini tahu siapa sesungguhnya yang dulu membunuh sang saudagar, maka iapun berkata, “Semyonich, barangkali kau pernah mendengar kejadian itu, atau mungkin kau pernah meli­hatku sebelum ini?”
“Apakah aku pernah mendengarnya? Dunia ini penuh dengan desas‑desus. Tapi peristiwa itu sudah lama sekali dulu, dan aku telah lupa apa yang kudengar.”
“Barangkali kau pernah mendengar siapa yang membunuh saudagar itu?” tanya Aksionov.
Makar Semyonich tertawa dan menjawab, “Dia itu pastilah orang yang di dalam tasnya ditemukan pisau tersebut! Kalaulah  ada orang lain yang meletakkannya di sana, maka ada ungkapan: ‘Dia bukan pencuri sampai tertangkap’, bagaimana ada orang yang bisa meletakkan sebilah pisau di dalam tasmu yang berada di bawah kepalamu? Pastilah akan membuatmu terbangun.”
Ketika Aksionov mendengar kata‑kata ini, ia merasa yakin bahwa orang inilah yang telah membunuh saudagar itu. Iapun bangkit dan pergi. Sepanjang malam itu Aksionov terbaring dalam keadaan jaga. Dia merasa sangat sedih, dan berbagai bayangan muncul di benaknya. Ada bayangan istrinya saat ia meninggalkannya untuk pergi ke pasar malam. Dia melihat wanita itu seakan‑akan hadir: wajah dan matanya muncul di hadapannya, ia mendengar bicara dan tawanya. Lalu ia melihat anak‑anaknya, masih kecil‑kecil ketika itu, yang seorang mengenakan mantel mungil sedangkan yang satunya lagi masih menyusu di dada ibunya.
Lalu ia pun mengenang dirinya sendiri kala itu: muda dan ceria. Ia ingat ketika duduk bermain gitar di beranda losmen itu, di mana dirinya ditangkap. Betapa dulu ia tak pernah merasa susah.
Di benaknya ia melihat tempat di mana dirinya dicambuk, sang algojo, orang‑orang yang berdiri di sekelilingnya, ran­tai‑rantai itu, para pekerja paksa, semua dua puluh enam tahun kehidupannya di penjara, dan usia tuanya yang prematur. Menge­nang semua itu membuatnya sangat sedih hingga ingin rasanya bunuh diri.
“Dan semua ini karena perbuatan bajingan itu!” batinnya. Dan kemarahannya sangat besar kepada Makar Semyonich sehingga ia ingin sekali melakukan balas dendam, walaupun dirinya sendiri harus hancur karenanya. Ia terus mengulang‑ulang doa sepanjang malam itu, namum tetap tidak bisa merasa tentram. Selama siang harinya ia tidak mau berada di dekat Makar Semyo­nich, ataupun melihat ke arahnya.
Dua pekan berlalu seperti itu. Aksionov tak dapat tidur tiap malamnya, dan begitu menderita sehingga tak tahu apa yang harus dikerjakan.
Suatu malam ketika sedang berjalan‑jalan di sekitar penjara ia melihat seonggok tanah terlempar keluar dari bawah salah satu dipan bersusun tempat tidur para napi. Iapun ber­henti untuk mengamati apakah itu gerangan. Tiba‑tiba Makar Semyonich merangkak keluar dari bawah dipan tadi dan memandang ke atas kepada Aksionov dengan ketakutan. Aksionov berusaha berlalu tanpa memandang ke arahnya, tapi Makar Semyonich mencengkeram lengannya dan mengatakan kepadanya bahwa ia telah menggali sebuah lubang di bawah dinding, membuang tanahnya dengan cara memasukkannya ke dalam sepatu boot‑nya yang ting­gi, lalu membuangnya setiap hari ke jalan ketika para napi sedang digiring untuk bekerja.
“Pokoknya kau diam saja, Pak Tua. Dan kaupun akan ikut keluar juga. Kalau kau sampai berkicau maka mereka akan men­cambukku sampai mati, tapi sebelum itu aku akan membunuhmu lebih dulu.”
Aksionov bergetar marah ketika memandang musuhnya. Ia merenggutkan tangannya seraya berkata, “Aku tak ingin melolos­kan diri. Dan kaupun tak perlu membunuhku, kau telah membunuh­ku sejak lama! Tentang melaporkan perbuatanmu ini, aku boleh melakukannya atau tidak, Tuhanlah yang memberi petunjuk.”
Pada hari berikutnya ketika para napi digiring ke peker­jaan mereka, patroli tentara melihat salah seorang napi sedang membuang tanah dari sepatu boot‑nya. Penjara tersebut digele­dah dan terowongan itupun ditemukan. Sang gubernur datang dan menanyai semua napi untuk mencari tahu siapa yang telah meng­gali lubang itu. Mereka semua menyangkal mengetahui hal terse­but. Orang‑orang yang tahupun tidak mau mengkhianati Makar Semyonich, karena tahu bahwa ia akan dicambuk sampai hampir mati.
Akhirnya sang gubernur berpaling kepada Aksionov yang diketahuinya sebagai seorang yang jujur, dan berkata, “Kau adalah seorang tua yang bisa dipercaya, katakan padaku, di depan Tuhan, siapa yang telah menggali lubang itu?”
Makar Semyonich berdiri dengan lagak seakan‑akan tidak begitu peduli, dia memandang kepada sang gubernur dan hanya melihat sekilas ke arah Aksionov. Bibir dan tangan Aksionov bergetar, dan untuk beberapa lama ia tak dapat mengucapkan sepatah katapun. Ia membatin, “Mengapa aku harus melindungi orang yang telah menghancurkan hidupku? Biar dia membayar apa yang telah kuderita ini. Tapi bila aku bicara, mereka mungkin akan mencambuknya sampai mati, dan barangkali kecurigaanku ini bisa saja salah. Lagipula, apa untungnya bagiku?”
“Baiklah, Pak Tua,” ulang sang gubernur, “katakan padaku yang sejujurnya: siapa yang telah menggali di bawah tembok itu?”
Aksionov melihat sekilas ke arah Makar Semyonich, dan berkata, “Aku tak dapat mengatakannya, Tuan. Bukanlah kehendak Tuhan agar aku mengatakannya! Lakukan saja apa yang Anda inginkan atas diriku ini, aku berada di tangan Anda.”
Bagaimanapun sang gubernur telah berusaha, Aksionov tidak mau berkata lebih banyak lagi, dan perkara itupun akhir­nya dianggap selesai.
Malamnya ketika Aksionov berbaring di dipannya dan mulai terlelap, seseorang mendatanginya secara diam‑diam dan duduk di atas dipannya. Iapun memandang dengan tajam menembus kege­lapan dan mengenali Makar Semyonich.
“Apa lagi yang kamu inginkan dariku?” tanya Aksionov. “Kenapa kamu datang ke sini?”
Makar Semyonich diam.
Maka Aksionovpun duduk dan berkata, “Apa maumu? Pergi­lah, atau akan aku panggilkan penjaga!” Makar Semyonich membungkuk ke dekat Aksionov lalu berbi­sik, “Ivan Dimitrich, maafkan aku….”
“Untuk apa?” tanya Aksionov.
“Akulah sebenarnya yang dulu membunuh saudagar itu dan menyembunyikan pisaunya di dalam barang‑barangmu. Aku sebetul­nya bermaksud membunuhmu juga, namun kudengar ada ribut‑ribut di luar, maka kusembunyikan pisau itu ke dalam tasmu dan melarikan diri lewat jendela.”
Aksionov terdiam, dan tak tahu apa yang harus dikatakan­nya. Makar Semyonich beringsut dari dipan itu dan berlutut di atas tanah.
“Ivan Dimitrich,” katanya memohon, “maafkanlah aku. Demi kasih Tuhan, maafkanlah aku. Aku akan mengaku bahwa akulah yang telah membunuh saudagar itu, dan kaupun akan dibebaskan dan bisa pulang ke rumahmu.”
“Mudah saja bagimu bicara begitu,” ujar Aksionov, “tapi aku telah menderita karena ulahmu selama dua puluh enam tahun ini. Ke mana lagi aku hendak pergi sekarang? Istriku sudah meninggal, dan anak‑anakku pun sudah tak ingat lagi kepadaku. Aku tak bisa pergi ke mana‑mana lagi….”
Makar Semyonich tidak bangkit, tapi justru membentur‑benturkan kepalanya ke lantai. “Ivan Dimitrich, maafkan aku!” tangisnya. “Ketika mereka mencambukku dengan cemeti dulu, tidaklah seberapa berat menanggungnya dibandingkan melihatmu seperti saat ini. Bahkan kaupun telah mengasihaniku, dengan tidak mengatakannya kepada mereka siang tadi. Demi Kristus, ampuni aku, aku memang brengsek!” Dan iapun terisak‑isak. Ketika Aksionov mendengarnya menangis terisak‑isak begitu, iapun ikut menangis. “Tuhan akan mengampunimu,” kata­nya. “Mungkin aku seratus kali lebih buruk daripadamu.”
Dan dengan kata‑kata ini hatinyapun terasa ringan dan terang, kerinduan kepada rumah pun hilang. Ia tak ada keingi­nan lagi meninggalkan penjara itu, namun hanya mengharap agar saat‑saat terakhirnya segera tiba.
Terlepas dari apa yang telah dikatakan Aksionov, Makar Semyonich tetap mengakui kesalahannya. Tapi ketika perintah pembebasan atas dirinya dikeluarkan, Aksionov baru saja wafat.

Senin, 14 Januari 2013

Waktu adalah Kehidupan

Sejak menikah, Ryan bekerja sekuat tenaga untuk membahagiakan istri dan anak2nya. Namun karena pendidikannya yang rendah, seberapapun beratnya bekerja Ryan hanya mendapat gaji pas2an saja. Ryan bertekad untuk mengambil kuliah terbuka demi memperbaiki penghasilannya. Ia menghabiskan malam2 sepulang kerja untuk meningkatkan prestasinya.

Seberapapun seringnya keluarga mengeluh bahwa hampir tak ada waktu untuk bersama lagi sejak Ryan sibuk dengan kerja dan kuliahnya; Ryan selalu punya alasan untuk meyakinkan isteri dan anak2nya bahwa itu semua ia lakukan demi memperbaiki situasi keluarga dan membahagiakan mereka. Ryan teguh pada pendiriannya, toh hanya dua-tiga tahun mereka perlu bertahan dalam situasi buruk demi masa depan yang lebih baik.

Demikianlah pada saatnya Ryan lulus dengan hasil yang memuaskan; segera ia dipromosikan untuk sebuah jabatan yang lebih tinggi sebagai Supervisor Senior; otomatis penghasilannya meningkat. Seperti mimpi2 yang terwujud, sulit dipercaya akhirnya Ryan bisa memberikan penghidupan yang lebih baik bagi keluarga; makanan yang lebih baik, punya mobil, masih bisa ikut tour jalan2 ke luar negri..

Namun keluarganya masih sering mengeluh terlalu banyak waktu yang dihabiskannya untuk pekerjaan dan hampir tak ada waktu untuk anak2 sepanjang minggu. Ryan memberi alasan, ini hanya sementara, sampai ia mencapai targetnya untuk meraih jabatan Manager seperti yang dijanjikan perusahaannya; setelah itu Ryan berjanji untuk memberi waktu lebih banyak bagi keluarga. Ia juga sebenarnya rindu untuk sering kumpul dan menghabiskan waktu lebih banyak bagi ketiga anak dan isterinya.

Ketika akhirnya jabatan Manager itu diperolehnya, Ryan mempekerjakan seorang pembantu rumah tangga untuk meringankan beban pekerjaan rumah tangga isterinya. Lebih dari itu ia menghadiahkan rumah baru yang lebih besar dan lebih layak untuk keluarganya. Sungguh, Ryan melakukan semuanya dengan sekuat tenaga untuk kebahagiaan keluarganya-setidaknya itu yang selalu ada di pikirannya! Berkat pengalaman2 kerjanya dan kemampuan akademis yang menjanjikan, Ryan memutuskan untuk mengambil kuliah lanjut supaya lebih memantabkan posisinya di perusahaan. Lagi, Ryan berjanji hanya perlu bertahan sedikit lagi supaya kehidupan mereka sungguh mapan dan kebahagiaan itu sungguh ada dalam genggaman tangan keluarganya.

Ada harga yang harus dibayar untuk setiap jabatan yang menggiurkan tentunya; Ryan perlu menghabiskan waktu2 weekendnya untuk melayani klien2 dan customers yang dibawahinya. Namun setidaknya soal gaji tidak lagi menjadi masalah bagi keluarga; berapapun mereka butuh selalu ada solusinya. Ketika akhirnya Ryan mendapat gelar akademik yang memungkinkan dia untuk menduduki posisi nomor satu di perusahaan; Ryan mengatakan kepada isteri dan anak2nya bahwa ia memutuskan untuk tidak akan mengambil kursus2 lagi dan berhenti mengejar promosi2 yang ditawarkan perusahaannya. Ryan memutuskan untuk memberi waktu lebih banyak bagi anak2 dan isterinya.

Begitulah, malam itu Ryan tidur dengan hati puas telah mencapai segala mimpi2nya…ia tertidur lelap, sangat lelap, dan tak pernah bangun lagi esok paginya….. Isteri dan anak2nya tetap tidak pernah mendapat cukup waktu dan perhatian dari Suami dan Ayah mereka……

Tentu saja, perusahaan manapun tak ada yang punya concern dan kepedulian terhadap keluarga karyawannya sebagai prioritas! Satu2nya concern mereka adalah: Anda bekerja maksimal, kami bayar maksimal! Anda bisa menjadi "mesin" penghasil uang bagi perusahaan, kami bayar sesuai nilai yang anda berikan! Itulah hukum bisnis; dan kita harusnya punya prioritas sendiri bagi hidup kita dan keluarga kita sendiri.

Saya kira 'kemuliaan hidup' bukan hanya tentang pencapaian dan kepenuhan diri dalam prestasi kerja dan sukses2; itu lebih tepat menjadi kemuliaan perusahaan dan lembaga2 yang berbasis bisnis. Tetapi 'kemuliaan hidup' bagi setiap pribadi lebih terletak pada kesadaran dan sifat tahu diri tentang siapa dirinya dan di mana tempat mereka bagi orang2 yang paling berharga dalam hidupnya.
Orang yang berhati mulia adalah mereka yang tahu kapan waktunya berhenti, sebelum mereka dihentikan oleh sang waktu… Orang yang berhati mulia adalah mereka yang mampu menjadi tuan atas kehidupan mereka sendiri, bukan terbelenggu sebagai budak dari kehidupannya sendiri. 

Minggu, 06 Januari 2013

Pewarta Sukacita


Di ujung taman, ada seorang ibu setengah baya yang sedang tertawa dengan begitu lantangnya. Rasaya seluruh jogging track penuh dengan suara tuh ibu doang…J
Sukacita ibu itu mengingatkan saya pada Elizabeth yang begitu penuh sukacita waktu Bunda Maria datang mengunjunginya. Kehadiran Maria begitu membuat Elizabeth bersukacita, sampai-sampai bayi dalam kandungannyapun melonjak kegirangan – padahal Maria belum ngomong apa-apa.
Tiba-tiba hati saya jadi on-fire sendiri. “Yang kayak gini inilah seharusnya para pewarta kita!” pikir saya. Bunda Maria menjadi seorang pewarta sukacita hanya dengan kehadiran dirinya. Tanpa kata-kata apapun, kehadirannya sudah menjadi kabar baik bagi Elizabeth dan bayi Yohanes. If we want to preach and share the Good News, then we have to be a good news to others first. Gimana kita bisa menjadi pewarta kabar baik, kalau kehadiran kita tidak disukai orang lain. Santo Fransiskus Asisi pernah bilang “Preach the Good News, with words if necessary”. Artinya pewartaan pertama-tama bukanlah dengan kata-kata, tapi dengan sikap hidup kita masing-masing. Kalau kita menjadi orang yang penuh sukacita Tuhan, kehadiran kita akan membawa sukacita bagi sesama. Now the issue is: Apakah kehadiran kita menjadi kabar baik bagi orang lain? Bagaimana kita bisa berbagi kabar gembira, kalau kehadiran kita saja sudah tidak dikehendaki orang lain, karena sikap kita yang tidak mencerminkan Kabar Baik itu sendiri… Bunda Maria adalah seorang pewarta sejati karena Ia membawa Yesus dalam dirinya, dan tanpa kata-katapun Ia sudah membagikan sukacita Tuhan. Pernah denger pepatah action speaks louder than words? Mother Mary is the loudest preacher and she is the most genuine preacher of the Good News, because first of all, she preaches with her life! Haleluya!
Artinya semua orang bisa menjadi seorang pewarta sejati seperti Maria, karena jadi pewarta bukan berarti harus berdiri di mimbar untuk mewartakan sukacita Tuhan. Yup, everybody can be a preacher of the joy of Christ: everybody like you and me.
Belajar dari Bunda Maria!
Kaos saya mulai basah kuyup. T-Shirt yang agak longgar mulai nempel di badan karena basah. Sambil melirik ke bawah, saya merasa bangga..he..he.. Sekarang udah ngga jaman six pack guys. Sekarang jamannya One Big Family Pack!
Dan sayapun lanjut, … terpujilah engkau di antara wanita…
(Banyak orang bilang bahwa kalau kita memuji Maria, kita sedang menggantikan Yesus dengan Maria. Siapa bilang? Kalau kita memuji sebuah lukisan, sebetulnya yang sedang kita puji adalah pelukis yang begitu hebat karena bisa menciptakan lukisan yang sungguh indah. Gitu juga dengan memuji Maria. Waktu kita memuji Maria, kita sedang memuji kebesaran Yesus yang dengan hebatNya mencipta dan bekerja dalam diri seorang perempuan muda – bejana yang rapuh namun dipenuhi kuasa Tuhan untuk melahirkan keselamatan dan pengharapan bagi sorga dan dunia!)